19.

23 4 0
                                    

Keduanya sudah berada di dalam bianglala. Mata Syerina terus memandang keindahan langit senja yang perlahan mulai terlihat.

Sambil menikmati ice cream yang Aksa belikan tadi. Syerina melihat sekelilingnya, benar kata Aksa, kota terlihat sangat indah dari atas sini.

Bianglala berputar begitu pelan, sehingga siapapun yang menaikinya akan termanjakan oleh pemandangan yang indah dari atas.

Aksa terus tersenyum seraya memperhatikan gadis yang ada di sebrangnya saat ini. Mereka lebih memilih duduk berhadapan agar bisa saling melihat satu sama lain.

Senyum yang sedari tadi terpancar, perlahan memudar dari wajah Syerina. Aksa bertanya–tanya, ada apa dengan gadisnya ini? maksudnya, ada apa dengan Syerina.

"Sye? kenapa? kok kamu tiba–tiba diem?" tanya Aksa pelan–pelan tanpa menyinggung perasaan Syerina.

Syerina menggelengkan kepalanya, dan tersenyum getir.

"Gak apa–apa kok. Aku cuma ngerasa bebanku sedikit hilang karena naik ini. Kalau ada Harsyi dan Harsya pasti mereka senang deh bisa naik ini bareng kita."

"Aku kangen ayah sama bunda, dulu almarhum ayah dan bunda selalu ngajak aku dan ketiga adikku ke funworld. Rasanya kalau diingat–ingat, ayah hebat ya. Beliau bisa menghidupi istri dan keempat anaknya tanpa kekurangan apapun, dan serba berkecukupan. Sedangkan aku sekarang, aku harus berperan jadi orang tua buat kedua adikku, tapi rasanya berat banget. Ternyata aku belum sekuat itu untuk mencukupi semua kemauan kedua adikku."

"Tunggu Sye, kamu? punya 3 adik?"

Syerina mengangguk, dan tersenyum tipis. "Adikku harusnya ada 3 Sa. Tapi yang bungsu, malah ikut ayah sama bunda pergi ninggalin aku."

Aksa memilih untuk tidak memotong ucapan Syerina sampai di mana nanti ada waktu yang tempat untuk dia berbicara.

"Aku, harusnya punya teman perempuan di rumah. Anak ayah dan bunda ada 4, aku, adik kembarku, dan adik perempuan ku. Harusnya kalau ia masih ada, mungkin sekarang sudah kelas 3 SMP deh. Itu alasannya kenapa Harsya dipanggil abang, dan Harsyi dipanggil aa. Karena harusnya mereka punya adik kecil."

"Adikku namanya Shireen Azrelina. Nama anak ayah dan bunda semua hampir mirip. Adik bungsu aku cantik banget Sa, bener–bener plek ketiplek bunda." Syerina terlihat tegar menceritakan semuanya kepada Aksa.

"Aku jadi penasaran, pasti dia secantik kamu, Sye."

"Gak! dia jauh lebih cantik, sumpah. Dia punya lesung pipi kayak kamu, di kedua pipinya."

"Sayangnya, aku udah gak bisa lihat senyum cantiknya lagi semenjak tragedi yang menimpa mereka saat itu."

"Aku jadi benci naik mobil pribadi karena selalu teringat sama kamera dashboard yang merekam jelas truk besar yang menabrak mobil ayah waktu itu."

"Hari itu turun hujan, dan ayah harus jemput Shireen di tempat lesnya. Karena bunda khawatir, jadi bunda memutuskan untuk ikut ayah karena takut terjadi apa–apa kalau ayah nyetir sendirian di bawah derasnya hujan. Itupun aku tau ceritanya dari Harsya dan Harsyi, karena saat itu aku lagi ujian akhir sekolah SMA ku."

"Aku gak tau gimana kejadian jelasnya. Yang aku tau tiba–tiba aku dapat kabar kalau ayah, bunda dan Shireen, meninggal di tempat setelah truk menabrak mereka dari lawan arah."

"Aku bener–bener hancur saat itu. Hanya tinggal menunggu hari kelulusan setelah ujian terakhir, namun orang tuaku malah pergi ninggalin aku, apalagi mereka membawa adik kesayanganku."

"Aku terpukul Sa, 3 tahun kepergian mereka tetep membekas dan jadi luka di hati aku. Hidupku dulu gak sesusah sekarang Sa, dulu aku adalah anak yang serba berkecukupan, ayah selalu menuruti semua kemauan anak–anaknya. Aku dulu, mana pernah mau beli apapun harus menabung? gak pernah. Kalau mau apapun tinggal minta aja sama ayah atau bunda, pasti langsung dikasih."

"Ini alasan kenapa aku selalu maksa nurutin semua kemauan Harsya. Harsya dulu selalu mendapatkan apapun yang dia mau dari ayah. Jadi, sebisa mungkin sekarang aku harus bisa kayak ayah Sa, nurutin semua kemauannya. Harsya dulu gak sedingin sekarang, ia selalu terbuka dan banyak bicara. Kebalikannya dengan Harsyi, Harsyi dulu anaknya tertutup dan gak banyak minta apapun. Tapi sekarang Harsyi lebih banyak bicara dan Harsya jadi pendiam, namun tetap selalu banyak permintaan. Harsyi tetap Harsyi, gak banyak minta anaknya." Tanpa sadar air mata keluar dari mata Syerina. Namun Syerina tetap tegar bercerita.

Entah apa yang membuatnya berani menceritakan semuanya pada Aksa, ia merasa dirinya sudah nyaman pada Aksa. Dan sudah tidak sanggu menahan semuanya sendirian.

"Aku sadar, sekarang sesusah itu cari uang sendiri untuk menuhin kebutuhan hidup aku dan kedua adikku. Aku gak punya skill apapun. Usaha kue dan katering yang kamu tau itu, sebenarnya semua punya bundaku Sa. Aku cuma nerusin aja. Dulu bunda benar–benar menjadi ibu rumah tangga yang mengurus semua anaknya dengan baik, makanya hanya menyalurkan hobinya dengan buka usaha bakery itu. Gak seperti aku sekarang yang menjadikan usaha itu sebagai satu–satunya mata pencaharianku. Berbeda dengan bunda yang menjadikan itu hobi."

"Kalau ingat Harsya dan Harsyi, rasanya aku sedih banget Sa. Aku belum bisa menjadi kakak yang baik buat mereka, aku belum bisa menjadi peran yang baik sebagai orang tua untuk mereka. Karena ternyata aku gak sanggup sendirian, aku masih mau jadi anak yang diurus oleh kedua orang tuaku Sa."

Aksa berpindah tempat menjadi di sebelah Syerina. Mendekat ke arah gadis itu, bahkan Aksa memberanikan diri menarik Syerina ke dalam dekapannya. Ia ingin Syerina menyalurkan segala kegundahan dan kesedihan yang ada pada dirinya. Aksa tidak ingin Syerina memendamnya sendirian. Syerina membalas pelukan Aksa, dengan mengeratkan kedua tangannya pada punggung Aksa.

"Sye, menurut kamu etis gak ya kalau aku bilang, kamu itu gak sendirian. Kamu punya aku sekarang, sebelumnya aku berterima kasih sama kamu, karena kamu udah ngizinin aku untuk tau tentang cerita hidup kamu, aku juga makasih banget karena kamu mau cerita sama aku, soal semuanya. Aku mungkin emang gak bisa ngerubah apapun yang udah terjadi dihidup kamu. Tapi, izinin aku untuk jadi tempat kamu berteduh Sye. Izinin aku milikin kamu sepenuhnya, supaya kamu gak ngerasa sendirian, dan kamu punya aku. Kamu bisa ajak aku senang, sedih, apapun aku akan selalu temani kamu."

Syerina merenggangkan pelukannya. "Sa, luka ku itu terlalu dalam dan susah sembuhnya. Gak ada yang bisa ngobatin luka aku selain diri aku sendiri, itupun aku belum mampu sembuhin, karena aku belum sanggup berdamai dengan diriku sendiri Sa." Katanya seraya menatap lekat netra Aksa.

"Aku bisa jadi obat buat kamu. Ayo kita sembuh sama–sama." Aksa mengusap lembut surai Syerina.

"Ayo kita jalani sama–sama, aku emang gak bisa menjamin masa depanku ke kamu. Karena usia kita sama dan mungkin masih panjang perjalanan menuju serius. Tapi aku yakinin kamu kalau aku bisa jalanin ini sama–sama, bareng kamu."

"Menjalani hubungan tanpa status pun aku sanggup kalau memang kamu mau jalaninnya sama–sama."

"Aku juga siap kalau ke depannya, kamu akan nemuin yang lebih mapan dari aku selama aku merintis masa depanku. Aku akan berbesar hati dan ikhlas kalau jodoh kamu nanti bukan aku. Tapi setidaknya aku akan berusaha nemenin kamu sampe waktu itu tiba, syukur–syukur kalau kita beneran berjodoh Sye."
















To be continued...

Sbntr lagi akan tiba di ending hihiiii. Aku mau cepat menyelesaikan book ini karena takut ceritanya makin gk jelas.

Vote ya, berharga banget buat aku. Karena aku akan menyalurkan kegabutanku lagi dengan merilis cerita lainnya di akun ini. Love💖

sandhyā | Hamada Asahi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang