I

18 0 0
                                    

Di daratan utara benua Eropa, di tengah sebuah kota kecil, suhu udaranya amat jarang terasa hangat. Daratan yang hampir sepanjang tahun mengalami musim dingin yang gelap dan suram, dihampiri musim yang sedikit hangat seperti musim semi dan gugur, namun hampir tidak sempat merasakan cerahnya musim panas. Hampir setiap hari suhu udaranya menyentuh nol derajat bahkan mungkin di beberapa minus di bawahnya. Terlebih lagi sekitar dua minggu lagi musim akan berganti menjadi musim dingin.

Seorang gadis dewasa muda berumur dua puluh satu tahun berjalan pelan melalui jalanan trotoar yang sedikit basah. Langkahnya terdengar jelas, hak sepatu loaf yang sudah tua bergeletuk menyentuh bebatuan trotoar yang licin. Matanya hijau gelap seperti sebongkah batu zamrud. Rambutnya ikal sebahu berwarna cokelat seperti tanah musim semi. Gadis itu bernama Helena. Matanya akan mengkilat seperti permata yang ditimpa cahaya ketika ia bergembira, namun jarang sekali saat seperti itu terjadi. Ia sudah mengubur dalam semua kisah bahagia dalam hidupnya, karena apabila ia mengingat kenangan bahagia ia akan menangis sehari semalam.

Helena mengeratkan syal merah terang yang mengalungi lehernya yang jenjang dan ramping. Giginya bergemeletuk. Ia berjalan cepat-cepat di trotoar jalan raya yang mulai sepi. Ia mengangkat tangannya dan mengecek jam tangan perak yang mengelilingi pergelangan tangannya yang kecil.

Pukul dua belas malam.

Mengerikan, gumamnya. Ia pulang larut malam. Ini malam minggu, seharusnya jalanan lebih ramai. Helena mengangkat wajahnya ke atas. Sinar purnama menerangi wajahnya dengan lembut. Hatinya sedikit lega. Ia menatap rembulan itu lama-lama, mungkin sekitar sepuluh menit. Ia berdiri diam dan mendengarkan suara napasnya sendiri sambil menatap sinar bulan yang putih dan lembut.

Angin malam bertiup semakin kencang, menelusupi dan membuat ngilu setiap ruang sendi. Helena mengedipkan matanya dan memeluk tubuhnya sendiri yang hanya diselimuti jaket wol butut berwarna cokelat kusam yang membosankan, yng juga tidak terlalu tebal. Ia berjalan menunduk menatap sepatunya yang bolong di bagian jempol kanannya, merasakan jempolnya yang mulai membeku seperti es lilin.

Helena mengangkat kepalanya ke depan dan tersentak kaget. Ia menghentikan langkahnya. Sekitar sepuluh meter, seorang pria berdiri di depannya. Bulu kuduk Helena merinding. Pria yang berdiri di depannya menatapnya lekat-lekat. Pria itu cukup tinggi, sekitar 185 cm dibanding Helena yang setinggi 165 cm.

Helena mundur sedikit. Ia memicingkan matanya untuk memerhatikan pria di depannya dengan lebih jelas. Rambut pria itu berwarna keperakan. Matanya sangat gelap dan hitam, selaras dengan langit malam di atasnya. Bibirnya merah merekah seperti kelopak mawar. Macam aktor film fantasi yang tersasar. Helena menoleh ke sekeliling. Tidak ada orang lain, jalanan benar-benar sepi.

"Apa kau hantu?" Helena bertanya setengah berbisik dengan pertanyaannya yang bodoh. Ia memerhatikan kaki pria itu. Ada. Anggota tubuhnya lengkap. Sangat lengkap. Bahkan sangat tampan.

Helena menggelengkan kepalanya. Fokus, Helena!, desisnya dalam hati. Kewaspadaannya terhadap ancaman sedikit luntur karena wajah pria yang tidak manusiawi itu. Pria itu memakai setelan senada berwarna putih. Jas putih, kemeja putih, celana putih, dan pantofel putih.

"Kau malaikat?" Helena bertanya lagi.

"Apa kau mau mengambil nyawaku?"

Pria itu tidak menjawab. Dia benar-benar berdiri mematung dan hanya memerhatikannya. Helena baru menyadari, ekspresi pria itu kebingungan.

Angin bertiup semakin dingin. Sudahlah mungkin dia memang hantu, aku harus segera pulang sebelum membeku, pikir Helena. Helena menyeberangi jalan dan berjalan cepat menuju rumahnya.

Helena mendengar suara derap sepatu. Helena menoleh. Pria itu mengikutinya! Helena berlari kecil. Pria itu mempercepat langkahnya. Sebuah rumah kecil dengan pagar putih yang sudah tua mulai terlihat. Helena berlari dengan cepat. Ia mendorong pagar rumahnya dan segera merogoh sakunya.

Kunci mana kunci? Sial! Jantung Helena berdegup kencang. Jarinya jauh gemetaran dibanding sebelumnya saat jarinya gemetar menahan udara dingin. Ia segera membuka pintu dengan cepat dan membantingnya. Ia segera mengkunci pintunya. Helena menutup matanya dan menghela napas.

Mata hijaunya terbuka lebar dan alisnya mengangkat. Sial aku lupa mengunci pintu pagar!. batin Helena sambil menepuk jidatnya dengan keras. Helena berjinjit membuka gorden jendela. Pria itu sudah masuk ke halaman rumahnya.

Tuhan, aku memang jarang berdoa padamu tapi aku mohon kali ini selamatkan aku. Helena menangkupkan tangannya dengan pasrah. Ia mengintip lagi dari balik gorden.

Pria itu berdiri di teras rumahnya tapi memunggungi rumahnya. Badannya sangat tinggi dan tegap. Pria itu tidak mengetuk sama sekali. Helena memerhatikan pria itu. Sudah tiga puluh menit. Helena memerhatikan asap putih tipis yang keluar setiap pria itu bernapas.

Rasa iba mencuat dari dada Helena. Jangan-jangan besok pagi ada mayat membeku di teras rumahnya. Helena menggelengkan kepalanya sekali lagi. Aku harus apa? Siapa pula pria ini? Akhirnya dia membuka pintu. Pria itu berbalik ke arahnya.

"Masuklah. Di dalam lebih hangat." Helena mengacungkan pisau dapur yang baru saja ia ambil tadi. "Tapi jangan berani macam-macam. Tetap di sofa. Apabila kau nekat, aku akan menelpon polisi, bahkan aku tidak segan membunuhmu."

Pria itu hanya diam tak berkutik. Pria itu malah memiringkan kepalanya. "Hei, kau tidak mengerti ya?" Helena mulai meninggikan suaranya. "Kau ini datang darimana sih?"

Helena menarik tangan pria itu. "Sudahlah cepat aku tidak punya waktu, besok aku harus kuliah." Helena menutup pintu dan menunjuk sofa tua dia ruang tengah. "Tidurlah disitu. Ingat jangan berani macam-macam kau!" Helena mendesis galak. Helena segera masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Ia lelah sekali hari ini. Ia melempar tubuhnya ke kasur dan segera tertidur.

***

visual main characters

visual main characters

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

man under the moon

man under the moon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Helena

ALTALUNE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang