Berhari-hari, hati Helena tidak karuan. Terlebih lagi, isi pikirannya. Tomo dan Hans benar-benar menghilang. Dan Han Yoo Ra yang muncul tiba-tiba dalam kehidupannya. Suatu malam, Helena mencari kontak Tomo di media sosial. Ia tidak memiliki ponsel atau komputer. Sehingga ia pergi ke tempat rental internet. Tempat rental seperti itu sudah jarang di kotanya karena hampir semua orang sudah punya internet dan ponsel. Namun, ia juga tidak menemukan akun Tomo di media sosial. Semuanya akun lama yang sudah jarang dikunjungi.
Han Yoo Ra terus menemani Helena kemanapun ia pergi. Ia membantu Helena mencari kontak Tomo dan teman seapartemen Tomo. Tapi, Tomo tidak ada juga. Bahkan, tidak ada apartemen di kota dengan nama penghuni Tomo. Hal ini membuatnya semakin kebingungan. Sehingga ia mulai menanamkan di otaknya. Mungkin, Tomo dan Hans meninggalkannya. Seperti orang tuanya meninggalkannya. Seperti ketika semua orang meninggalkannya.
Han Yoo Ra berjalan di sisi Helena. Kantung mata Helena menebal, rambutnya kusut tidak terawat. Bahkan, hari ini ia tidak memakai mantel yang tebal, padahal hari semakin dingin. Han Yoo Ra mengurusnya seperti seorang kakak. Ia menjemput pagi-pagi ke rumah Helena. Memberinya stok makanan.
Namun, Helena tidak selera makan.
"Helena, kau mau makan apa?" Yoo Ra bertanya pada Helena. "Aku traktir makanan apapun yang kau mau."
Helena menggeleng. "Terimakasih, Han Yoo Ra, tapi cukup, jangan belikan aku apa-apa lagi, aku tidak enak."
Han Yoo Ra berhenti. Ia memegang tangan Helena yang dingin. "Kamu bisa sakit, Helena." Han Yoo Ra menatap Helena. "Aku akan lakukan apapun agar kau bahagia lagi." Helena terdiam. Helena tiba-tiba rindu senyum ramah Tomo. Juga rasa penasarannya pada sosok Hans. Dia merasa semuanya belum pernah benar-benar mulai, tapi selesai seperti ini.
Hari dalam satu minggu semakin habis. Seharusnya, hari ini ia pergi bersama Annie ke danau untuk bermain ice skating. Namun, Helena tidak bisa bangun dari ranjangnya. Kepalanya sangat pusing. Jiwanya terpuruk. Ia merasa udara semakin dingin. Oksigen makin berkurang. Ia memandang langit malam dari jendela kamarnya. Salju turun malam-malam. Jalanan terdengar hiruk pikuk begitu ramai.
Ia baru saja merasakan sesuatu titik terang kembali dalam hidupnya. Bahkan, sebelum ia tersenyum lebih lebar lagi, semuanya seperti diambil dari kehidupannya. Ia merasa darah tidak mengalir lagi di pembuluh darahnya. Matanya terasa kering karena matanya tidak bisa terpejam.
Barangkali, Tomo akan datang mengetuk dan memanggil namanya dengan keras dari luar rumahnya. Atau Hans, entah seperti apa wujudnya, maupun keadaannya. Terlebih lagi, saat ia tiba-tiba datang dengan banyak luka malam itu. Hal itu makin membuat hatinya mencelos.
Sayup-sayup suara memasuki telinganya.
"Wah salju turun lagi, dad!"
"Wah, iya indah ya? Bagaimana kalau kita pergi ke taman kota? Pasti ramai."
"Aku mau, yah!"
"Kalau begitu, tanya mom. Apa dia mau juga."
"Mom, ayo ke taman kota! Ayo, ibu, kumohon..."
"Hahaha, tentu sayang. Pakai mantelmu dulu, ya..."
"Mom, tapi aku mau pakai yang baru dari Bibi Rose. Yang warna pink!"
"Iya, iya, mom ambilkan."
"Asyik!"
Helena bangun dari tempat tidurnya. Ia berjalan ke pintu. Ia membuka pintu kamarnya. Ruang tengah terlihat. Suara itu hilang. Hanya tinggal senyap.
*
Malam itu, Annie datang ke rumah Helena. Annie ingin menjemput Helena. Ia membawa banyak makanan. Annie berhenti melihat Han Yoo Ra. Wajah mereka sama-sama terkejut. Mereka bertatapan agak lama. "Kamu ingin bertemu Helena?" Annie bertanya. Rambut pirangnya bersinar tertimpa sinar bulan. Mata hijau terangnya mengerjap.
"Iya, kamu menjadi siapa?" Han Yoo Ra bertanya. Seperti biasa, gadis korea itu berpakaian manis. Ia memakai mantel hitam dan stocking hitam dengan boots yang sedikit mengkilap. Rambutnya yang panjang dan lurus digerai dan ditutupi sebuah bando dengan penutup telinga berwarna pink muda. Seperti biasa juga, ia tersenyum dengan menampilkan lesung pipi yang tipis.
"Aku bosnya di restoran, aku juga mengasuhnya." Annie menjawab. "Kalau kau?" Ia menyilangnya tangannya.
"Aku menjadi teman kampusnya." Han Yoo Ra menjawab pendek.
"Mengapa kau mendekati Helena?" Annie bertanya.
Han Yoo Ra terdiam. Ia tidak menjawab. Sebaliknya, ia menampilkan giginya yang rapi dan putih. Ia tersenyum lebar.
Annie terkekeh. "Memang bukan hal yang biasa ya, hingga kau sampai kesini."
Yoo Ra menyelipkan rambut hitam panjangnya ke telinganya yang memerah karena udara dingin. "Memang ada sesuatu yang tidak baik saat ini."
"Apa karena dia turun ke bumi?" Annie bertanya.
Han Yoo Ra hanya menatap Annie. "Sepertinya, banyak sekali yang turun ke bumi."
Alis Annie naik. Annie menatap langit. Bulan semakin terang.
*
"Helena, keluarlah," Annie mengetuk pintu dari luar. "Kumohon."
Helena tidak juga keluar membukakan pintu. Sudah satu jam mereka berdua mengetuk pintu. Akhirnya, Helena beranjak dan membukakan pintu. Annie memeluk tubuh Helena yang kecil dan kurus. "Ayo, kita menghirup udara segar."
Ketiga gadis yang rupawan berjalan di bawah langit malam dengan taburan salju yang kecil-kecil. Han Yoo Ra dan Annie memperhatikan Helena. Mereka sungguh khawatir.
"Yoo Ra, ada apa kamu kesini?" Helena bertanya pelan.
"Kebetulan aku ingin melihat keadaanmu," Yoo Ra menjawab. "Apa kamu sudah makan? Kita makan yuk?"
Helena menggeleng. Ia kehilangan selera makannya. Mereka bertiga jalan pelan-pelan. Jalanan sangat ramai. Ada yang mau menghabiskan malam dengan keluarga makan di restoran, sepasang kekasih berjalan-jalan, anak kecil yang bermain salju. Malam yang sangat indah. Langit pun masih terang dengan cahaya bulan purnama. Sesuatu yang aneh pada bulan, tapi entah kenapa tidak ada satu berita apapun terhadap fenomena ini, seakan suatu hal yang biasa.
Mereka sampai di danau. Annie bersiap-siap untuk menyewa sepatu skating. elena menarik napas. Mata hijau zamrudnya mengkilat. Ia membelalak. Ada suatu hal yang mengejutkan. Tomo dan Hans berdiri di sisi seberang danau. Mereka berlima bertatapan.
Senyum Tomo merekah. Ia melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Begitupun dengan Hans, auranya semakin bercahaya malam ini. Matanya malam ini berwarna biru muda. Seperti air laut. Sangat bening ditimpa lampu-lampu yang mengelilingi danau. Hans masih memakai topi rajut milik Helena.
Helena berdiri kaku.
"Helena, itu mereka!" Annie memegang pundak Helena. Senyumnya merekah lebar. Ia menoleh ke Helena. Namun, setitik air mata mengalir di pipi kiri Helena. Ia berpikir, apakah ia sudah bangun. Mimpi dan kenyataan seperti berkejaran mengejek dirinya. Mereka berdua sebenarnya benar-benar manusia atau bukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTALUNE [END]
FantasyHelena Brooks, gadis sebatang kara yang harus menjalani hidupnya yang keras di musim dingin, berjalan di tengah malam di bawah sinar rembulan. Saat itulah, ia bertemu makhluk magis yang berdiri di bawah gelapnya malam. seorang pria tinggi dengan set...