Tomo terus membekap mulut Helena. Karena Helena bisa teriak kapan saja. Helena sudah menjerit tertahan. Keringat dingin bercucuran dari dahinya. Ia seperti berada dalam rumah hantu, tapi ini jauh lebih mengerikan dan ini nyata.
Mata Raksasa itu membelalak berwarna hitam dengan manik matanya yang berwarna merah. Kepalanya berputar 180 derajat seperti gasing yang mencari mangsa. Mulutnya terbuka memperlihatkan gigi runcing dan lidahnya menjulur. Darah mengalir dari mulutnya yang tidak berbibir. Ia terus menyeringai dengan sangat mengerikan. Raksasa itu tidak lama kemudian pergi. Ia berjalan dengan suara berdebum. Bunyi rantai-rantai besi perkakas yang ia genggam terseret semakin membuat telinga ngilu.
Tubuh Helena melemas. Otaknya tidak bisa menyaring apapun lagi. Semuanya terasa seperti mimpi, dan semakin lama semakin memburuk. Ia ingin segera bangun. Tubuhnya jatuh ke belakang. Tomo menangkapnya. "Helena," Tomo mengguncangkan bahunya. "Helena bertahanlah."
Helena menggelengkan kepalanya. Tidak, ia ingin pulang. Bukan, dia ingin mengembalikan semuanya tapi dia tidak bisa. Diam-diam dia merindukan masa kesepiannya. Sekarang ia benar-benar kerepotan.
"Ini mimpi." Helena berbisik.
"Ini sungguhan, Helena." Vey balas membisik. "Itu tadi Zamen, ia raksasa penjaga penjara. Tidak ada tahanan yang bisa lolos darinya."
"Kalau ada tahanan lolos, berarti akan dimakan olehnya." Tomo menjawab.
Helena menggelengkan kepalanya. Ia ketakutan. Lagi-lagi, akhirnya Tomo menyodorkan punggungnya ke hadapan Helena. "Naik, kita harus bergegas."
Helena memeluk leher Tomo. Tomo mulai memanggulnya. Mereka mulai berjalan perlahan menyusuri lorong, ketika raksasa itu sudah jauh dari mereka. Mereka berjinjit. Sungguh pelan-pelan. Helena memeluk Tomo erat. Tomo memimpin di depan. Vey dan Way mengikuti dari belakang.
Helena menoleh kedalam jeruji-jeruji penjara yang gelap. Penuh orang. Manusia bumi. Mereka terkejut melihat keberadaan Tomo, Helena, Vey, dan Wey. Mata mereka terbelalak. Mereka menunjuk-nunjuk kawanan berempat yang mengendap-ngendap. Mereka tidak berani mengeluarkan sepatah katapun, mereka terlalu takut. Mereka terpojok di kegelapan. Mereka ketakutan dengan Zamen. Mereka bingung. Semua hal yang terjadi benar-benar menghantam mental mereka.
Mereka terus mengendap-endap. Vey dan Tomo terus mencari ke setiap isi jeruji besi, berharap ada Riv salah satu sel tersebut. Mereka terus mengendap hingga sampai ke persimpangan yang mengarah ke 3 pintu yang berbeda.
"Kita harus kemana?" Vey berbisik.
"Aku tidak tahu," Tomo menjawab dengan berbisik. "Kurasa kita coba saja dulu yang kanan."
Helena, Vey, dan Way tidak memperbedebatkan ke-sok-tahu-an Tomo. Mereka hanya mengikuti saja. Helena memutuskan untuk turun dari punggung Tomo. Mereka berjalan pelan di kegelapan, karena lorong tersebut tidak terdapat lampu.
Helena memeluk lengan Vey erat. Vey pun sebaliknya. Tomo menjaga dari depan dan Way menjaga dari belakang. Udara terasa semakin tipis. Bunyi busuk menyeruak dicampur bau amis darah. Jantung mereka berempat berdesir. Kaki mereka semakin bergetar. Bulu kuduk merinding tidak karuan. Lentera merah mulai muncul lagi, sel-sel mulai terlihat kembali. Tapi, satu hal yang menakutkan terlihat. Helena seperti ingin pingsan.
Mayat-mayat yang sudah terpotong-potong dan terpisah-pisah bagiannya bertebaran di hadapan mereka. Bersimbah darah. Dagingnya terkoyak. Pintu-pintu sel sebagian terbuka. Mayat-mayat itu pasti manusia yang hendak kabur namun ketahuan Zamen.
Helena menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Air matanya bercucuran. Dia tidak sanggup melihat ini. Vey juga tubuhnya semakin lemas. Tomo dan Way akhirnya membopong tubuh Vey dan Helena yang semakin melemas.
Tomo membopong Helena dan Way membopong Vey. Mereka berjalan terseok-seok melewati tebaran mayat tersebut. Mereka sayup-sayup mendengar tangisan kecil. Mereka menoleh ke sel-sel yang masih tertutup. Ternyata masih banyak juga yang ada dalam sel.
Namun, tidak ada satupun tanda-tanda dari Riv.
"Kurasa disini sudah diisi semuanya oleh manusia bumi." Vey berbisik. "Kurasa kita harus mencari sel yang sudah lama, yang berisi manusia bulan."
"Kau benar," Tomo menjawab. "Tapi, aku tidak tahu tempatnya."
Vey mengangkat bahunya. Ia juga tidak tahu. Akhirnya mereka memilih kembali berjalan. Hawanya mulai semakin dingin. Sel-sel tersebut mulai terlihat diisi kawanan berambut putih.
Manusia bulan!
Sel itu juga penuh.
"Kenapa manusia bulan juga dipenjara?" Helena berbisik. Tomo menggeleng tidak tahu. "Entah apa alasannya, tapi sekarang tempat ini semakin mengerikan." Tomo ikut berbisik.
"Helena!"
Seseorang memanggil Helena. Dengan cukup keras. Baik Helena, Tomo, Way, dan Vey menoleh. Dengan jantung seperti berhenti. Mereka menoleh ke arah suara yang memanggil mereka. Itu Annie! Dengan rambut putih. Annie mengatupkan mulutnya. Matanya berkaca-kaca. Semua orang yang berada di sel melotot ke arahnya.
Untuk pertama kalinya, Helena benar-benar membenci Annie. Pertama karena selama ini Annie membohonginya kalau dia manusia bulan. Kedua karena Annie menempatkannya dalam bahaya.
DUG!DUG!DUG!
Tanah bergetar kencang. Suara derap kaki berlari yang sungguh besar. Tomo, Vey, dan Way langsung berlari. Helena juga hendak berlari. Namun, ia sedari tadi dibopong oleh Tomo. Betapa terkejutnya Helena ketika Tomo melepas dan mendorongnya hingga jatuh.
Tomo, Vey, dan Way sudah berlari menjauh meninggalkannya. Zamen semakin dekat. Raksasa itu sudah muncul di kedua mata Helena yang mengeluarkan air mata. Kakinya tidak bisa digerakkan. Mayat-mayat yang sudah terkoyak itu pun masih dapat terlihat di kedua matanya.
Mata Zamen merah menyala. Giginya yang besar dan tajam menyeringai. Mulutnya menyeringai sampai hampir menyentuh kedua telinganya. Bagian terburuknya adalah, raksasa itu berlari. Helena merasa sudah mati dari dalam.
Sebuah cahaya muncul di hadapan Helena.
Zamen terus berlari. Sosok cahaya di hadapan Helena mendorong raksasa itu sampai Zamen jatuh terpelanting.
Mata Helena melotot. Iris matanya yang hijau zamrud seperti tercerai berai akibat cahaya yang menyilaukannya mengakibatkan matanya buta sesaat. Cahaya itu memudar. Ia mulai bisa melihat sosok berdiri di hadapannya. Sosok itu tinggi dan gagah. Sosok yang baru saja memukul mundur Zamen dengan satu kepalan tangan.
"Hans?" Helena memanggilnya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTALUNE [END]
FantasyHelena Brooks, gadis sebatang kara yang harus menjalani hidupnya yang keras di musim dingin, berjalan di tengah malam di bawah sinar rembulan. Saat itulah, ia bertemu makhluk magis yang berdiri di bawah gelapnya malam. seorang pria tinggi dengan set...