Gempa semakin dahsyat. Suara gemuruh semakin mendekat. Tomo merasa tidak kuat lagi berlari. Kakinya yang belum total sembuh terasa sangat perih. Ia terlalu memaksakan dirinya. Keringatnya semakin deras. Ia berlari bersama orang-orang yang berusaha menyelamatkan dirinya. Namun, ia merasa tidak tahu harus kemana.
Tomo pun tumbang. Ia terjatuh. Helena memekik. Kemudian, mereka tersapu ombak besar yang datang. Seperti ditabrak ribuan tronton. Helena tidak mampu menahan pelukannya kepada Tomo. Dia berteriak dalam air. Tomo sudah tersapu entah kemana. Dia sudah pingsan. Sesuatu yang keras membentur kepala Helena. Kesadarannya mulai hilang. Sayup-sayup ia hanya dapat mendengar suara teriakan dan tangisan.
Helena membuka matanya. Ia berdiri di suatu tempat yang tidak asing baginya. Dia berada di Taman Kota di musim semi. Ia melihat seorang gadis kecil berumur 8 tahun menggelayut ke ibunya.
"Helena, kamu ini seperti anak kecil." Ibu gadis itu mengusap rambut anaknya dengan penuh kasih sayang. Gadis itu tersenyum lebar. "Tapi, ini sangat nyaman!"gadis itu menyahut manja. Seorang pria bertubuh besar muncul dari belakang mereka. Pria itu menutup kedua mata gadis kecil itu. Pria itu membawa koper yang besar. Pria itu memakai pakaian seragam tentara. Taman Kota lokasinya dekat dengan stasiun kereta.
Gadis itu memekik gembira. Ia memeluk pria itu cepat. Tubuhnya yang mungil tenggelam dalam pelukan ayahnya yang besar. Mereka menari-nari gembira di tengah taman, ditengah bunga-bunga yang mekar. Dunia menjadi milik mereka bertiga saat itu.
Air mata Helena mengalir.
"Helena," Helena membuka matanya pelan. Sebuah wajah terlihat di matanya. Pria dengan mata yang hitam legam dan helaian rambut berwarna putih. Hans. Hans menggendong Helena di kedua tangannya. Mata Helena mengerjap. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih. Semilir angin membelai anak rambutnya yang berwarna cokelat. Ia bisa melihat bulan yang sangat dekat dengannya.
Dia baru sadar saat ini dia tidak berada di atas bumi. Dia melayang di langit malam. Hans bisa melayang. Hans ternyata menggendongnya dan membawanya terbang ke langit. Air laut menyapu seisi kota di bawahnya. Helena merasa terkulai tidak berdaya. Mata hijau zamrudnya meredup. "Bertahanlah sedikit lagi, Helena." bisik Hans pelan. Perlahan, Helena kembali kehilangan kesadarannya.
*
"Helena!" Helena membuka matanya perlahan. Pandangan matanya masih kabur. Wajah seseorang terlihat blur di matanya. "Dia sudah sadar! Dia sudah bangun!" Suara pekikan yang khas. Ia merasa tangan kanannya digenggam erat. Ia menggerakkan jarinya pelan.
Pandangannya mulai jelas. Ternyata itu Tomo. Mata Tomo melengkung seperti bulan sabit. Wajahnya memerah. Seseorang memakai baju putih dan datang memeriksa Helena. "Dia sudah mulai pulih, mungkin dia akan cepat pulih apabila meminum banyak cairan dan nutrisi. Jaga dia juga agar tetap hangat." Dokter menasihati Tomo. Tomo mengangguk. Kemudian, dokter itu pergi.
Tomo kembali menatap Helena. Helena mengedarkan pandangan ke sekitar. Mereka di bawah tenda pengungsian. Orang-orang duduk di atas terpal mengobrol, sebagian meringkuk kedinginan. Helena pun mulai merasa kedinginan. Dia lapar.
Tomo menyodorkan sepotong roti. "Makanlah ini, ini jatahku hari ini." kata Tomo. Helena menggeleng. "Tidak, kau saja yang makan." Tomo mengerutkan dahinya. "Tentu saja kau yang makan! Kau tidak sadar selama lima hari!" Helena mengerutkan dahinya. Lima hari?
Akhirnya, Helena mengalah setelah Tomo panjang lebar mengomelinya. Suasana sangat suram di tempat pengungsian. Malam mulai datang. Suhu udara semakin turun. Tomo datang membawa banyak selimut. "Aku sangat lega kau bisa bangun," mata Tomo meredup. "Banyak yang tidak bisa bertahan karena hipotermia."
Helena hanya terdiam. Ia sangat prihatin. Ia teringat ketika Hans menggendongnya ke atas langit. Apakah berkat Hans ia sampai sini? "Tomo, bagaimana aku bisa sampai sini?" Helena bertanya pelan. "Hmm, bagaimana kita bisa selamat?"
Tomo menatap Helena sebentar. Ia menghela napas. "Sekarang masanya sedang sulit, Helena," wajahnya tampak sangat lelah. "Malam ketika kita tersapu tsunami, aku pingsan dan terbangun di bukit, aku merasa putus asa dan kedinginan dan sampai ke tenda pengungsian ini," katanya. "Aku sedih sekali tidak bertemu dirimu di tenda pengungsian."
Helena terdiam. "Bagaimana aku bisa sampai sini?" Helena bertanya. "Lima hari yang lalu, setelah sekitar tiga hari kejadian tsunami, kau muncul begitu saja tergeletak di depan tenda pengungsian dengan sekujur tubuh dingin." Tomo menghela napas berat. "Sesaat kukira kau sudah mati, tapi kamu masih bernapas, aku menunggumu setiap hari sampai kamu bangun."
Helena menghela napas. Artinya Tomo tidak bertemu Hans. Helena pusing. Apa mungkin saja itu mimpi. Tapi, bagaimana bisa dia sampai begitu saja sampai sini? Oke, anggap saja itu Hans. "Lalu, apa saja yang sudah terjadi?" Helena bertanya. Tomo kembali menatap Helena. Tatapannya nanar. Ia kembali menggenggam tangan Helena. "Sehari rasanya seperti sebulan," ia berujar pelan. "Bukan, sepertinnya rasanya seperti bertahun-tahun."
Helena menggenggam tangan Tomo erat. "Ada apa Tomo?"
Tomo menghela napas. "Banyak terjadi bencana alam," ia berkata pelan. "Kota kita hancur parah. Aneh sekali, mengerikan. Bulan seolah-olah ingin jatuh ke bumi. Air laut berulang kali pasang seperti ingin menyapu bersih kami semua. Ini adalah tempat pengungsian paling tinggi," Tomo mulai bergetar. Ia ketakutan. "Mayat bertebaran dimana-mana dan mulai membusuk. Bangunan hancur lebur. Tidak hanya itu, ketika kami mengungsi disini udaranya dingin ekstrem, perlahan banyak juga yang meninggal karena hipotermia, dan juga kelaparan."
Wajah Tomo terlihat pucat dan kurus. Ia kedinginan dan kelaparan. Tomo sangat menderita. Helena memeluk Tomo erat. Ia menutup matanya. Tomo dan Helena seperti hanya memiliki satu sama lain saat ini. Tomo melepas pelukan Helena. "Jangan sekali-sekali kau menghilang lagi," Tomo berkata tajam. "Lebih baik aku mati."
"Itulah yang kurasakan saat kau pergi tiba-tiba saat itu," Helena membalas. "Rasanya aku seperti mau mati."
"Maafkan aku." Tomo menunduk. Helena mengusap kepala Tomo. "Maafkan aku juga." Helena tersenyum.
Tomo mengangkat kepalanya. "Helena, apa kamu berpikir kalau..."
"Semua ini ada hubungannya dengan Hans?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTALUNE [END]
FantasyHelena Brooks, gadis sebatang kara yang harus menjalani hidupnya yang keras di musim dingin, berjalan di tengah malam di bawah sinar rembulan. Saat itulah, ia bertemu makhluk magis yang berdiri di bawah gelapnya malam. seorang pria tinggi dengan set...