VI

2 0 0
                                    

Tomo memerhatikan Hans lekat-lekat. Hans hanya terdiam begitu juga Helena. Jam pelajaran sudah usai, dan mereka bertiga sekarang duduk di sebuah kursi panjang di taman kampus. "Hans, aku ingin bicara dengan Helena sebentar, kau tetap disini." Tomo menarik tangan Helena dan mengajaknya bicara di bawah pohon sejauh beberapa meter dari Hans.

"Helena," Mata Tomo yang berbentuk seperti bulan sabit menatap Helena tajam. "Kamu benar-benar harus menceritakan padaku semuanya, dimana kau menemukan orang itu?"

Helena menghela napas. "Memangnya kenapa? Apa urusannya denganmu?"

"Aku?" Tomo mengangkat alisnya. "Aku sudah terlibat! Aku ingin menolongmu!"

Helena menatap wajah Tomo yang serius. Kulitnya yang putih sedikit memerah karena udara siang hari yang lumayan terik. Rambutnya acak-acakan menandakan tubuhnya belum menyentuh air sedikitpun.

"Dia muncul begitu saja di depanku di tengah malam di trotoar kota," Helena menjawab pelan. "Dan dia mengikutiku sampai rumah."

Tomo terdiam sesaat. "Lalu?"

Helena mengerutkan alisnya. "Lalu?"

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" Tomo bertanya.

"Aku ingin menyerahkannya ke kantor polisi, karena kupikir dia orang yang hilang ingatan, sakit jiwa atau semacamnya." Helena menjawab.

"Dia jauh lebih pintar dari orang sakit jiwa!" Tomo berseru. Dia menepuk dahinya. "Bahkan dia membicarakan alam semesta di depan seorang profesor!"

"Orang sakit jiwa terkadang terlihat jauh lebih pintar, kan?" Helena bergumam pelan. "Tapi, kenapa dia mengikutiku?"

"Iya, aku juga penasaran dengan hal itu," Tomo menatap Helena. "Sepertinya ada sesuatu yang ia selidiki darimu."

"Apa?" Mata hijau Helena sedikit membundar.

"Aku merasa dia bukan orang biasa," Tomo menjawab. "Dan aku juga tidak bisa membiarkanmu menyerahkannya ke kantor polisi."

Helena menarik tangannya. "Kamu kenapa harus ikut campur?"

Tomo terdiam karena sikap Helena yang dingin. Dia menghela napas. Dia menangkupkan kedua tangannya di pipi Helena. Helena tersentak kaget. "Aku peduli padamu!" Tomo berseru secara tiba-tiba. "Aku tidak mau kamu kenapa-kenapa!"

Hati Helena mencelos. Dia merasa sesuatu yang aneh merasuki dadanya. Dia tidak tahu apa yang dirasakannya. Mungkin, mungkin dia sudah terlalu lama kesepian. Entahlah, kenapa tiba-tiba Tomo sangat peduli dengannya? Kemana saja dia selama ini? Atau mungkin hati kecilnya melemas karena pengalaman baru dirayu seorang laki-laki. Sejujurnya, dia juga membutuhkan pertolongan. Sudah lama ia tidak pernah membagi masalahnya dengan siapapun. Tapi, sekarang kasusnya berbeda. Mau Tomo ataupun Hans, keduanya asing baginya. Dan mereka muncul begitu saja.

Hans menarik tangan Tomo dari pipi Helena. Hans meremas jari Tomo lama. "Aaaa!!!" Tomo menjerit kesakitan. Dia mengaduh dan mendorong Hans tapi Hans tidak menggubris sama sekali.

"Hentikan, Hans!" Helena menarik Hans. Tomo memperhatikan ujung jarinya yang membiru.

"Kau ingin mengamputasi tanganku ya?!" Tomo berseru.

Hans hanya menatap mata Tomo lekat-lekat. Matanya yang tadinya biru mulai menghitam. Helena hanya bisa terdiam menyaksikannya. Ia benar-benar tidak bisa berpikir. Hans mengalihkan wajahnya ke Helena. "Kita harus siap-siap bekerja." ucap Hans, tiba-tiba. Hans menggenggam tangannya.

"Oh, ehm, okay." Helena hanya mengangguk. Ia mengerutkan dahinya.

*

Hans dan Helena berjalan sejajar di sepanjang trotoar. Tomo mengikuti mereka berdua dibelakang. Mereka semua terdiam. Matahari masih berada di langit, cahayanya mulai melembut. Udara menjadi semakin dingin. Sepertinya, sebentar lagi, musim salju akan datang. Entah kapan, salju pertama turun. .Dan ternyata, sore ini, salju pertama turun. Sebutir salju mengenai hidungnya yang kecil. Meleleh. Helena mendongak. Ia menghentikan langkahnya.

ALTALUNE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang