XXX

1 0 0
                                    

Helena menepis tangan Lucas kasar. Lucas tertawa. "Oh, dan lihat aku melihat empat naga suci yang jarang sekali terlihat dan selalu bersembunyi dalam goa." Lucas memandang keempat naga suci yang menatapnya geram.

"Wah, wah, aku jadi takut," kata Lucas. "Apa aku bahagia? Aku mendapatkan bonus selain gadis bumi, juga naga suci. Aku sudah lama ingin menghabisi mereka, mereka selalu merusak rencanaku sedari dulu."

"Aku akan membunuhmu!" Wu tiba-tiba melepas pedangnya dari pinggangnya dan berlari menuju Lucas.

Lucas mengayunkan tangannya. Sebuah kilat cahaya jingga berdebum. Sebagian atap rumah runtuh. Wu terhempas oleh kilat itu. Sebagian tubuhnya hancur.

Lucas tertawa. Helena menatap Lucas ngeri. Ia tidak tahu kalau Lucas sekuat itu. Lucas merangkul tubuh kecil Helena. "Tenang saja, gadisku, dia akan beregenerasi dengan cepat, aku tidak berniat membunuhnya sekarang."

Helena mendorong tubuh Lucas namum Lucas mencengkeram Helena lebih kuat. Ia menatap tajam Helena. Ia berbisik ke telinga Helena. "Kau harus menuruti perkataanku, kalau kamu tidak mau aku benar-benar membunuh mereka semua."

"Lepaskan dia!" Won berteriak. Weil, Won, dan Wise bersiap untuk menyerang Lucas. Mereka melepas pedangnya. Mereka bersiap memasang kuda-kuda.

"Tidak! Tunggu!" Helena berteriak. "Jangan, maksudku, biarkan aku ikut dengan Lucas. Tidak apa-apa..." Lucas tersenyum senang. Ia mengayunkan tangannya pada penjaga-penjaga yang berada di luar. "Tapi, dengan satu syarat!" Helena menyergah. Mata zamrudnya mengkilat.

Lucas tersenyum kecil. "Wah,wah, sepertinya aku tidak pernah menawarkan syarat menyarat padamu," ia mendekatkan wajahnya ke Helena. Dia mencolek dagu Helena. "Tapi untuk gadis bumi satu ini, akan kulakukan apa saja, apa itu?"

"Aku akan melakukan apa saja untuku, asalkan kamu melepaskan Riv." Helena berkata tajam. Lucas mengangkat alisnya. "Oh, apakah kau tidak tahu aku sangat cemburu setiap kau mengatakan Riv? Aku dan dia adalah saingan, kau tahu?"

Helena menatap tajam Riv. "Kalau tidak, aku akan mati saja sekarang." Dengan cepat, Helena mengambil pedang di pinggang Lucas dan mengarahkannya ke lehernya. Semua orang tercengang. Wajah Lucas tampak terkejut. Matanya membulat.

"Aku tahu kamu tidak berani." Lucas berkata cepat.

"Aku ini sangat berani." Helena mulai menggores lehernya. Darah mulai bercucuran. Dia meringis menandakan nyeri yang sangat. Tangan Lucas memegang pedang. Tangan Helena lebih kuat. Ia mulai menggorok lehernya lebih dalam.

"Cukup! Ya akan aku lakukan!" Lucas menjawab cepat.

Helena melepas pedangnya. Darah mulai bercucuran. Helena jatuh. Badannya melemas. Lucas langsung membopong tubuh kecil Helena.

"Ayo kita pergi." Lucas berjalan ke arah luar bersama para penjaga.

Dep!

Tiba-tiba Nenek Winsca menusuk punggung Lucas dengan sebuah belati. Lucas menoleh pelan. Matanya menatap ke arah bawah. Ia melihat Nenek Winsca yang jauh lebih pendek darinya menusuknya dengan sebuah belati.

Lucas langsung mendorongnya dan melepaskan sebuah cahaya. Nenek Winsca jatuh. Dia terbaring. Tubuhnya gosong.

Winsca sudah mati.

Helena hanya dapat mengerutkan dahinya. Kesadarannya tinggal separuh. Darahnya banyak yang keluar. Keempat naga suci menghampiri Winsca. Lucas langsung bergegas pergi. Helena masih sedikit sadar saat melihat kejadian itu. Ia melihat keempat naga suci yang menatapnya pergi. Mereka menundukkan kepalanya. Mata kelabu mereka mengilat sesaat. Mereka mengangkat sebelah tangannya seiring kepergian Lucas dan pasukan penjaga pergi.

*

Sebuah stadion. Stadion yang megah dan mewah berwarna putih dilapisi kaca bening. Stadion tersebut sangat luas dengan lapangan berlapis rumput tipis berwarna hijau dengan dikelilingi kursi-kursi berundak yang dapat menampung ribuan orang. Di bagian utara stadion terdapat sebuah balkon yang sangat besar dengan beberapa singgasana.

Helena membuka matanya perlahan. Ia duduk di sebuah singgasana kecil yang menghadap ke arah stadion yang luas. Banyak orang sudah duduk di kursi stadion.

Lehernya dibalut perban. Bajunya sudah dilapisi sebuah gaun perak dengan taburan permata. Ia tidak percaya sempat-sempatnya ia didandani.

Mata hijaunya mengedip-ngedip. Lucas di kursi sebelahnya. Beberapa orang duduk di antara mereka. Sebuah singgasana besar di tengah. Itu adalah tempat si ketua utama. Ia duduk dengan anggun. Matanya berwarna jingga keemasan. Kulitnya terlihat sangat pucat, namun bibirnya merah merekah sempurna. Tubuhnya tinggi dan gagah. Dahinya terdapat sebuah permata yang memunculkan warna pelangi dengan indah, dan hanya ia yang memilikinya. Jarinya yang panjang memegang sebuah tongkat dengan kristal yang berkilauan biru dan sedikit warna pelangi.

Helena berusaha mencerna keadaan. Tiba-tiba si ketua utama berdiri. "Keluarkan para pengkhianat!" Suaranya besar menggelegar mengisi stadion. Suara derap penjaga keluar menarik sebuah kereta dengan tiang-tiang. Tiang-tiang tersebut berisi satu orang yang terikat.

Helena membelalakkan matanya. Di tiang itu ada Way, Vey, dan satu tiang lagi ditutupi oleh sebuah kain putih.

"Mereka adalah pengkhianat kita semua! Merekalah yang menuntun kita semua ke kehancuran!" Ketua utama mulai berbicara.

Suaranya menggelegar mengisi stadion. Semua manusia bumi dan bulan hadir disitu. Semuanya menunduk. Terlebih lagi, manusia bumi, mereka menunduk ketakutan. Mereka masih sangat bingung terhadap situasi.

"Karena mereka, portal antara bumi dan bulan menjadi tidak terkontrol. Keadaan menjadi tidak seimbang. Bumi dan bulan menjadi semakin dekat. Tinggal menghitung waktu, bulan bisa jatuh ke bumi," ketua utama menarik napas. "Kita semua akan binasa."

"Aku yang gila atau bagaimana?! Apa ini mimpi?!" Seorang pria paruh baya tiba-tiba berteriak. Dia adalah makhluk bumi. Dia memakai setelan jas yang terlihat mahal. Namun rambutnya sudah acak-acakan dan wajahnya terlihat sangat lelah. "Apa kau gila?! Ini bulan?! Yang benar saja! Siapa kalian semua? Apa salahku terhadap kalian?! Lepaskan aku!"

Ketua utama menghentakkan tongkat kristalnya. "Tuan, mohon diam!" Ia berseru. "Kalian semua sekarang ada di bawah pemerintahanku. Aku yang mengatur disini. Kalau kalian tidak patuh, pasti ada akibatnya. Hukumanku amat keras!"

Pria itu langsung diam seakan pikirannya diubah. Dia langsung duduk. Ketua utama menunjuk Way, Vey dan seorang lagi ditutup kain putih dengan tongkatnya.

"Hari ini aku akan memberi contoh pada kalian semua, bahwa setiap perbuatan ada ganjarannya. Untuk semua baik makhluk bulan asli atau dari bumi karena kita semua akan tinggal bersama. Setelah ini, portal akan aku musnahkan, dan aku akan menghukum orang yang melakukan perbuatan seburuk ini, yang merusak tatanan alam semesta," kata ketua utama. "Mereka tidak layak untuk hidup."

Helena mengerutkan dahinya. Ia menatap wajah Way dan Vey yang tertunduk lemah. Para algojo dari kalangan penjaga maju. Mereka mendekat ke arah Way dan Vey.

Seorang penjaga menarik paksa batu Zyr yang ada kening Vey. Vey menjerit kesakitan. Matanya berubah menjadi putih. Rambutnya yang putih panjang rontok dan berubah menjadi hitam. Tubuhnya mengering.

Seakan seluruh hidupnya terserap ketika batu Zyr itu dicabut. Vey terjatuh lunglai. Dia tidak mati dan juga tidak hidup.

Helena terkesiap.

Penjaga kemudian maju ke arah Way. "Aku tidak menyangka naga suci juga akan melakukan hal ini kepada kami," kata ketua utama. "Rasa hormatku kepada kalian sangat besar, tidak ada yang bisa aku lakukan kepada kalian karena kalian memiliki kekuatan yang jauh lebih besar. Bahkan aku sama sekali tidak berhak menghukummu."

Kepala Way mendongak. Ia menatap ketua utama. Wajahnya penuh luka seakan dia baru saja disiksa sedemikian hebat. Rambut kelabunya berantakan.

"Enyah kau." Ia berdesis dari bibirnya yang sobek.

Ketua utama terkesiap. "Benar-benar..." ia mendesis. Ia mengangkat tongkatnya dan sebuah cahaya muncul dari tongkatnya. Cahaya itu mengelilingi Way. Way berteriak. Suaranya melengking mengisi stadion. Suaranya terus melengking mengerikan sampai cahaya itu hilang.

Tubuh Way pun menghilang menjadi butiran kaca, persis seperti nasib ibu Helena.

ALTALUNE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang