XXVII

2 0 0
                                    

Sosok itu mulai terlihat. Setelan rambutnya, jas putihnya, sosoknya yang tinggi tegap.

Itu Hans, alias Riv.

Hans berbalik. Ia memegang kedua bahu Helena. "Kau tidak apa-apa?" Suara serak Hans muncul. Helena sedikit menghela napas. Akhirnya ia bertemu dengan Hans. Tapi, bukan pada saat yang baik. Zamen itu mulai bangkit. Ia menggeram marah. Ekspresi raksasa menyeramkan itu berkali lipat jauh lebih menakutkan dari sebelumnya.

Hans kembali berdiri. "Helena, lari!" Hans berteriak. Ia kembali memasang kuda-kuda.

"Aku...aku tidak bisa..." Helena berkata panik. Kakinya sulit digerakkan. Badannya seperti mematung. "Kalau begitu, aku tidak akan pernah membiarkan makhluk itu menyentuhmu sedikitpun." Hans berkata. Matanya menatap raksasa itu dengan tajam.

Zamen mulai berlari lagi. Sekarang, raksasa itu mengayunkan sebuah benda besi bulat dengan jarum-jarum. Orang yang terkena itu akan langsung bolong. Helena menyerngit ngeri. Hans tidak bergeming sedikit pun. Ia maju dan berusaha melompat menyerang wajah Zamen. Zamen lebih gesit dari sebelumnya. Tangannya yang besar menebas tubuh Hans hingga ia terpelanting ke dinding. Hans berteriak kesakitan. Ia jatuh. Raksasa itu bergerak hendak memukul Hans dengan senjatanya.

"Hans!!" Helena berteriak.

Raksasa itu menoleh. Ia menyengir melihat Helena. Ia menunjuk Helena.

'Setelah ini kau.' maksud si raksasa.

Air mata Helena mengalir. Ia menguatkan diri. Ia mulai berdiri. Ia mendorong tubuhnya berlari ke arah Hans. Raksasa itu mulai mengangkat senjatanya tinggi-tinggi. Helena mempercepat langkahnya. "Tidak! Jangan!"

"Sudah cukup, Zamen."

Helena terjatuh. Ia tersandung lagi. Tepat ketika sebuah suara berat muncul. Suara derap kaki yang ramai mendekat. Helena mengelus dahinya yang kembali terantuk tanah. Zamen berhenti. Ia mundur mendengar suara itu.

"Astaga, tuan putri terjatuh lagi." Sebuah tangan mengangkat dagu Helena. Rupanya itu suara Lucas. Helena membuang mukanya.

Lucas lah yang menghentikan Zamen. Di belakang Lucas banyak pasukan penjaga mengikutinya. "Pangeran dan Putri kenapa ada di penjara?" Lucas menyengir menunjukkan giginya berbaris putih. Helena berdecak. Astaga, ini masalah yang jauh lebih besar. Lucas menemukannya. Lucas mengelus rambut Helena. "Inilah akibatnya kabur dariku, tuan putri."

"Jangan sentuh dia." Hans mengerang. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia tertelungkup. Kepalanya bercucuran darah. Ia menggeliat mendekati Helena.

"Bagaimana pangeran menyelamatkan putri ketika tidak berdaya seperti itu?" Lucas memiringkan kepalanya. Wajah Lucas mendekat ke Helena. Jaraknya hanya tinggal beberapa senti. "Padahal sudah lama aku tidak melihat gadis bumi semenarik dirimu, tapi aku sudah muak."

Kemudian, Lucas langsung berdiri. "Ya, lagipula seseorang sudah ada yang jatuh cinta padanya disini." Lucas melirik Hans yang sudah kehilangan kesadarannya.

"Bawa mereka berdua ke penjara," Lucas menyuruh penjaga. "Besok kita cari sisanya, satu manusia bumi, satu penjelajah, dan satu naga suci."

Penjaga mengikat Helena dan Hans dan hendak membawa mereka pergi. "Tunggu!" Helena berteriak. "Lucas, apapun yang kau lakukan, tidak ada gunanya! Kau bodoh melakukan semua ini! Kembalikan semua makhluk bumi ke tempatnya, dasar bodoh!"

Lucas tertawa. "Sebenarnya aku juga tidak mau merekrut makhluk lemah dan bodoh seperti kalian," manik mata jingganya mengilat. "Tapi kalian punya populasi yang ramai."

Lucas mengangkat bahunya. "Aku juga tidak punya tujuan khusus," ia menggerakkan kakinya mendekat kembali ke Helena. Ia mengelus pipi Helena. "Kalian makhluk yang unik," Lucas kembali tersenyum. "Sudah kubilang kan, aku bosan. Aku tidak punya banyak teman." Ia mengedipkan sebelah matanya dan mendorong Helena sampai jatuh.

Helena mengerutkan dahinya. Lucas mengangkat tangannya. "Penjaga, bawa mereka!"

"Tidak!!" Helena berteriak. Penjaga menarik Helena. Penjaga lain sudah membawa Hans yang sudah pingsan. Helena memelototi Lucas yang mulai jauh dari matanya, tersenyum sambil melambaikan tangannya.

*

Helena dan Hans dilempar ke suatu ruangan berjeruji yang gelap dan dingin di tempat paling pojok dan terpencil. Penjaga melempar mereka dengan kasar. Hans masih tidak sadarkan diri. Helena menggerak-gerakkan tubuh Hans. "Hans! Bangun!" Helena mulai panik. "Kamu tidak mati, kan?"

"Dia tidak mati," sebuah suara datang dari pojok ruangan. Seperti suara seorang ibu yang sudah tua. Helena mengerutkan dahinya. Apakah mungkin dia manusia lain? Karena manusia bulan tidak bisa tua. Tapi, ini penjara yang berbeda dari penjara tempat mengurung manusia bumi yang sebelumnnya dia lihat. Apalagi ibu ini hanya dikurung sendirian.

"Manusia bulan itu susah mati. Dia tidak akan mati kalau tubuhnya tidak tercerai berai."

Helena menyipitkan matanya. "Maaf, kau siapa?"

Ibu itu berdiri dengan tertatih-tatih. Wajahnya mulai terlihat. Ibu itu berhenti melihat Helena. Wajahnya sangat terkejut. "I...ini tidak mungkin..." tubuhnya gemetaran. Ia jatuh terduduk.

Helena memerhatikan wajah ibu itu. Wajah ibu itu sudah tua, sebagian rambutnya memutih. Tubuhnya kurus tidak terawat. Helena merasa wajah ibu itu familiar, tapi ia sangat bingung.

"Ada apa, bu?" Helena mendekat ke arah ibu itu.

Ibu itu memegang kedua pipi Helena. "Apa mungkin kau Helena?" Ia bertanya sambil terisak. Helena mengerutkan dahinya. "Bagaimana ibu tahu namaku?" Ibu itu memeluk Helena spontan. Pelukannya sangat erat. Helena semakin bingung.

"Ini ibu, ini mom," ibu itu berkata lirih. "Ibu tidak percaya kau ada disini...bagaimana bisa..."

Helena kaget. Ia langsung melepas pelukannya. Menatap ibu itu lekat-lekat. Ibu itu tersenyum senang. Ibu itu mengelus pipi Helena. Helena gemetar. Ia teringat wajah ibunya dulu. Ia tidak percaya sekarang ibunya menjadi menyedihkan tidak terurus seperti ini. Helena merasa terguncang. Ia yakin ibunya sudah mati, tapi ternyata masih hidup dalam keadaan mengenaskan.

Matanya menangkap liontin bulan sabit yang ada di leher ibunya. Liontin yang sama tentang memori yang ada di mimpinya saat di gua. Itu liontin milik ibunya, ada di ibu tua itu. Mata hijau Helena terbelalak, sudut matanya mulai memerah.

"Mom?!" Tangis Helena pecah. "Tidak mungkin, kenapa, mom..."

Mereka saling berpelukan. "Benar-benar pangeran muda itu," suara mendesis dari belakang mereka berdua muncul. "Dia memasukkan ibu dan anaknya dalam satu penjara."

Helena menoleh. Suara mendesis itu adalah suara Hans!

"Hans!" Helena langsung berlari menuju Hans yang berusaha duduk sambil merintih. Helena menuntun Hans bersandar ke tembok yang dingin. "Emmm.., maksudku Riv." Helena segera membetulkan kata-katanya.

Sudut bibir Hans yang robek tertarik ke samping. Ia terkekeh. "Kau bahkan sudah tahu nama asliku rupanya."

Helena memegang kepalanya merintih. "Aku bingung sekali..."

Ibunya datang menghampirinya. "Kamu tidak apa-apa, Helenaku sayang?"

"Mom, apa ini mimpi?" Helena menatap wajah ibunya.

Ibunya menggeleng pelan. "Tidak, ini sungguhan."

"Kenapa mom ada disini?" Helena bertanya. "Ayah dimana?"

Ibunya terdiam. Dia menatap Riv. "Ada apa? Ibu dan Riv saling kenal?"

Riv menatap Helena. "Bukankah aku sudah bilang padamu?"

"Aku mengenal dirimu, Helena."

ALTALUNE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang