VIII

1 0 0
                                    

Helena mengerjapkan matanya. Semalam ia pingsan. Ia menyentuh pelipisnya yang berdarah. Darahnya mulai mengering. Ia meringis. Ia berusaha berdiri. Tapi tubuhnya banyak yang lebam. Tubuhnya semakin kesakitan karena semalaman tertidur di lantai yang dingin.

Pintu rumahnya terketuk.

Ia hanya bisa melirik ke pintu yang diketuk tersebut. "Helena! Kau ada di dalam?" Suara Tomo terdengar dari luar.

"Tomo..." Helena memanggil lirih.

Tomo membuka pintu yang ternyata semalaman tidak terkunci. Hans dan Tomo terkejut melihat Helena yang terkapar di lantai. Hans dengan cepat meraih Helena dan menggendongnya ke sofa. Helena sama sekali terkulai tidak berdaya. Sepertinya ia demam.

Tomo mencari kotak P3K. Ia segera membersihkan luka di pelipis Helena dan memasang plester. Sementara Hans, tangannya terus menggenggam erat tangan Helena. "Aku tidak apa-apa." Helena berkata lirih.

"Diamlah, kau berbohong." Tomo menjawab cepat.

"Hans, maafkan aku," Helena menoleh ke Hans. "Aku menghilangkan pakaianmu."

Hans tidak menjawab. Matanya yang hitam hanya memerhatikan wajah Helena. Andai Helena bisa membaca pikiran, ia ingin sekali melihat isi pikiran Hans yang sangat misterius. Tapi, ia tidak bisa. Kepalanya sangat pusing.

"Aku membelikanmu roti dan selai," Tomo mengeluarkan makanan dari tasnya. "Kita sarapan ya sekarang?"

Helena tersenyum dengan sikap Tomo yang sangat manis. "Sebaiknya kau berangkat kuliah, Tomo."

"Aku tidak akan pergi kuliah!" Tomo menjawab cepat. "Kau kenapa tiba-tiba seperti ini, Helena? Siapa yang memukulimu?"

Helena tidak bisa menjawab. "Apa wanita itu yang melakukannya?" Hans tiba-tiba menyeletuk. Mata Helena membulat. "Siapa?"

"Rosette Brooks."

Sekali lagi, Helena tersentak kaget. Bagaimana ia tahu? Bahkan, bagaimana ia tahu nama panjang bibinya. "Itu siapa?" Tomo bertanya.

"Hans," Helena bertanya. "Sebenarnya, kau itu siapa?"

Pertanyaan itu lagi. Suasana menjadi hening. Tomo dan Helena menatap Hans yang tidak bicara apapun. Suasana begitu sunyi senyap seketika. Entah kenapa, ruangan menjadi semakin dingin. Bulu kuduk Helena dan Tomo merinding. Aura yang sama ketika mereka berada di kelas saat pelajaran Profesor Ludwig.

Hans tiba-tiba berdiri dan pergi keluar rumah. Tomo dan Helena bersitatap.

"Sekarang aku benar-benar takut," Tomo berkata pelan. "Sebenarnya dia itu apa?"

Helena menghela napas. "Aku takut dia pergi ke Bibi Rose."

"Jangan-jangan, dia akan membunuh Nyonya Rose?" Tomo bertanya. "Tunggu, memangnya Rose itu siapa? Kenapa dia memperlakukanmu seperti ini?" Suara Tomo meninggi.

"Tidak apa-apa..." Helena menggeleng.

"Sebaiknya, aku mengikuti Hans untuk memberi pelajaran pada Nyonya tua itu," Tomo berkata. Ia berdiri. "Kau tetap disini."

Helena memegang tangan Tomo. "Jangan! Sudahlah!" Helena memijat pelipisnya yang tidak terluka. Sekarang, ia kembali pusing dengan tingkah dua pria ini.

Tomo akhirnya berdiri. "Baiklah, tapi kau harus makan."

Tomo berdiri dan berjalan menuju dapur. "Benar-benar tidak ada makanan ya?" Ia melihat seisi dapur. Helena beranjak. "Aku harus pergi belanja hari ini."

"Biar aku saja!" Tomo menyahut. "Kau harus istirahat!"

Helena tersenyum kecil. "Sudahlah..." ia mengambil mantelnya.

ALTALUNE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang