V

2 0 0
                                    

Hari sudah pagi.

Helena mengerjapkan matanya. Helena mengeluh. Selalu saja setiap ia baru merasa sedetik tidur, dia harus bangun lagi. Helena juga kelaparan. Helena sedikit menyesal mengusir kedua orang itu. Sekarang rumah kembali sepi seperti biasanya. Helena mandi, dan bersiap berangkat kuliah.

Helena tersentak kaget ketika membuka pintu rumah. Tomo dan Hans tidur di teras rumahnya. Tomo memakai selimut yang tebal dan memakai jaket dan topi rajut yang Helena berikan kepada Hans. Bahkan, Tomo memakai jas putih Hans. Hans hanya memakai kemeja putih dan celana putihnya tanpa merasa kedinginan sedikitpun.

"Kalian kenapa tidur disini?"

Mendengar suara Helena, Tomo dan Hans bangun.

"Wow, selamat pagi putri tidur!" Tomo tersenyum lebar seperti biasanya. Helena pun baru menyadarinya bahwa Tomo memiliki lesung pipi di pipi kirinya. Helena merasa tidak enak membiarkan kedua orang itu tidur depan rumah. "Tomo, sebenarnya isi tasmu apa saja?" Kening Helena mengerut. Kemarin ramen, sekarang ada selimut tebal.

"Yah, tasku ini untuk berjaga-jaga," Tomo mengangkat bahu. "Semalam dingin sekali, tapi orang ini sama sekali tidak kedinginan." Tomo menunjuk Hans. Mata Hans mengerjap. Manik matanya yang hitam berkilau tertimpa cahaya matahari. Mungkin, sekarang Hans sudah tampak seperti mutiara yang berkilauan tertimpa cahaya pagi.

"Kalian kenapa tidak pulang?" Helena bertanya.

"Orang ini memaksa tetap disini!" Tomo menjawab. "Aku hampir mati kedinginan."

"Lalu kenapa tidak kau saja yang pulang?"

"Aku tidak bisa meninggalkan kalian berdua!" Tomo berdecak. "Astaga, aku peduli sekali dengan kalian berdua."

Helena hanya mengangkat bahu dan dia berjalan menuju kampus. Tomo memakaikan kembali topi rajut pada Hans. Mereka berdua kembali mengikuti Helena.

***

Sesampainya di kelas, Helena langsung duduk di sebuah bangku kosong. Tomo dan Hans ikut duduk di sebelahnya. "Hei!" Helena tersentak. "Apa kalian harus tetap mengikutiku sampai sini?"

"Memang kelasku disini!" Tomo menjawab. "Aku tidak tahu kenapa Hans ikut kesini."

Hans tidak menjawab. Helena memutar matanya sebal. Kemudian, profesor pengajar kelas hari ini memasuki kelas. "Baik, hari ini saya akan melanjutkan pelajaran kita kemarin."

"Tuan yang memakai topi," Profesor Ludwig menunjuk Hans. "Apa anda bisa jelaskan mengenai hukum ini? Silakan jelaskan di depan kelas."

Hans hanya bisa terdiam. Tomo menepuk dahinya.

"Saya lihat anda terus memakai topi, apakah sopan memakai topi dalam kelas?"

Helena terperanjat. Mata Tomo membulat. Hans mengangguk dan maju ke depan kelas. Semua mata tertuju pada Hans. Mereka tidak menyadari ada murid baru yang menyusup dalam kelas mereka.

Hans membuka topinya.

Helena menghela napas. Rambutnya berubah warna menjadi pirang. Dan matanya menjadi terang seperti langit biru. Namun, tidak ada yang menyadari perubahan matanya. Hans benar-benar seperti murid biasa sekarang. Entah kenapa, pesonanya yang luar biasa juga sedikit terhapus. Namun, Hans kembali memakai topi rajutnya. Dia sama sekali tidak peduli dengan teguran Profesor Ludwig.

Hans mengambil kapur yang di atas meja dan menulis jawaban soal dari profesor tersebut. Helena menggigit bibirnya. Bahkan, dia tidak mampu menjawab soal-soal dari profesor itu. Nilainya selalu pas-pasan.

Profesor Ludwig membetulkan letak kacamatanya. Matanya menyipit melihat hasil jawaban Hans. "Jawaban macam apa ini?" Profesor Ludwig kebingungan. "Aku tidak pernah sekalipun melihat jawaban seperti ini."

"Sebenarnya, hukum di dunia ini banyak kekeliruan." Hans menjawab. Suaranya rendah dan sangat datar. "Manusia bumi menerka segala hal yang terjadi di dunia sesuai yang berada di mata mereka, mereka tidak tahu sebanyak itu. Mereka hanya tahu sedikit."

Seisi kelas tercengang. Mereka mulai berbisik. "Teori macam apa yang kau pakai?" Frans, mahasiswa terajin dan terpintar di kelas berseru. "Buku apa yang kau baca? Kau bergurau ya? Jawabannya juga salah."

"Kau belum pernah mempelajari hukum fisika dari kaum Yale." Hans menjawab. "Ilmu pengetahuan makhluk bumi sudah tertinggal triliunan tahun dibanding mereka. Teori ini semua terlalu kuno."

Frans menaikkan alisnya. "Kaum Yale?"

Profesor yang berada di depan kelas hanya bersungut bingung. Dia kembali membaca hasil jawaban Hans. Banyak simbol baru yang tidak ia ketahui.

"Banyak yang tidak diketahui makhluk bumi." Hans kembali berbicara. "Mereka hanya tahu sekedar yang ada di bumi, tidak, bahkan mereka tidak tahu sepenuhnya isi bumi. Karena mereka tidak tahu, mereka menjadi berimajinasi. Mereka hanya mau meyakini apa yang mereka pikirkan."

Seketika, seisi kelas berbisik riuh. Mereka menganggap Hans meracau saja. Profesor Ludwig mengangkat alisnya. Kumis tebalnya yang menghiasi bagian atas bibirnya bergerak naik turun. Profesor Ludwig tidak bisa berkata apa-apa.

"Menurutku, kalian hanya berputar-putar pada satu teori saja. Kalian hanya mengembangkannya. Seharusnya, kalian mencoba mencari teori baru. Pergilah ke luar angkasa. Banyak hal yang perlu kalian ketahui. Jelajahilah galaksi lain. Banyak kaum yang jauh lebih maju dibanding kaum kalian." Mata Hans berkilauan.

Ia mengambil sebuah kapur papan tulis. "Lihatlah, kalian masih memakai kapur untuk menulis, atau spidol. Atau paling bagus pakai layar proyektor. Kemampuan otak manusia jauh lebih besar daripada membaca, menulis. Manusia bisa belajar jauh lebih cepat. Manusia terlalu taat dengan adat lama. Itulah kenapa mereka tidak bisa berkembang pesat."

Hans menggenggam kapur itu dan kapur itu seketika berubah menjadi serpihan. Tanpa tenaga apapun. Seisi kelas terkesiap. Mereka merasakan angin yang terasa aneh, tidak tahu darimana datangnya. Rasanya udara seperti diserap. Dada menjadi sesak. Bulu kuduk menjadi merinding. Suasana kelas menjadi terasa asing dan tidak nyaman. Di depan kelas Hans berdiri. Alisnya terangkat. Ekspresi wajahnya terlihat asing. Helena terkesiap.

"Sebenarnya siapa Anda?" Profesor Ludwig bertanya. Ia baru menyadari setelan putih yang bersinar dipakai Hans, sangat tidak sinkron dengan topi rajut usang yang menutupi kepalanya.

Helena langsung berdiri. "Ma...maaf!" Helena maju ke depan kelas dan memegang tangan Hans. "Dia sepupuku. Dia sedikit tidak waras. Aku tidak tahu kenapa dia menyusup kesini!"

Helena menarik Hans keluar kelas. Seketika udara kembali menjadi normal. Seisi kelas megap-megap mengisi paru-parunya dengan udara. Mereka merasa kehilangan oksigen selama beberapa saat. Mereka benar-benar tidak mengerti situasi apa yang baru saja terjadi.

Helena menarik Hans dan berhenti di depan kelas. Mata hijaunya menatap Hans tajam. Helena tidak bisa mengatakan sepatah kata apapun. Dia menatap mata Hans yang jernih seperti air sungai yang mengalir. Sangat tenang. Seperti batu pualam yang diam dialiri air sungai yang ditutupi pepohonan yang rimbun.

Sekali lagi, Helena terkesiap. Dia tidak tahu apa yang dia rasakan saat ini. Tangannya seketika terasa dingin. Dia menarik tangannya. Dia memalingkan wajahnya dari Hans yang baru saja tersenyum kepadanya. Pria menyeramkan ini hari ini tiba-tiba banyak bicara, melakukan hal aneh, bahkan tersenyum.

Helena mengerutkan keningnya.

Sebenarnya, siapa orang yang mengikutinya ini?

Sepertinya, Hans bukan orang kehilangan ingatan yang seperti ia kira. Mungkin jauh, jauh lebih dari apa yang ia kira.

ALTALUNE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang