Refleks Hanni menginjak tangan itu, "eh?"
Matanya mengerjap pelan ternyata bukan hantu seperti apa yang ia pikirkan, sialan jiwa penakutnya muncul di saat seperti ini. Hanni berjongkok namun memberi jarak, dengan hati-hati mencoba menyentuh tangan yang sudah terkapar tak berdaya itu dengan kakinya.
Di rasa aman ia mendekat, tangannya mengangkat jari kelingking tangan itu agar terangkat ke atas.
"Manusia."
"Ugh, pasti dia salah satu korban kebrutalan gangster tadi."
Sebenarnya sedikit iba melihat pria besar itu terkapar tak berdaya dengan banyak luka di sekujur tubuhnya, hati manusianya berteriak untuk membantu tapi setengah hatinya berkata untuk pergi dan meninggalkan pria itu.
"Em... aku bawa atau tidak?"
'Kau bodoh ya?! Dia itu gangster, gangster!!'
'Jangan dengarkan dia, tolong dia, obati setelah dia sadar minta uang padanya. Itung-itung sebagai biaya kemanusiaan.'
Hanni mengusir dua bayangan imajinasi di atas kepalanya, setelah sedikit berpikir akhirnya ia pun membuat keputusan.
"Ugh.. be.. ratnyahh..!" Tubuh kecilnya berusaha membopong tubuh pria besar di pundaknya.
Brugh!
"Hah~!" Dengan kasar Hanni menjatuhkan beban berat di pundaknya ke lantai flat nya, "sepertinya pundak ku patah." Lebay sekali ucapannya.
Ia meninggalkan pria itu di depan pintu sementara ia sendiri mengambil air minum dan meminumnya rakus. Melihat seonggok manusia tak berdaya- sekarat tergeletak di sana lagi-lagi membuat Hanni menghela napas.
"Kau harus menyelesaikan apa yang kau putuskan Hanni," ucapnya lalu menarik tangan si pria dan menyeret nya menuju ruang tengah.
Setelahnya Hanni mencari kotak P3K, saat akan mengobati pria gengster itu ia dilanda ragu. "Apakah aku harus membuka bajunya?"
Dengan tangan gemetar Hanni membuka satu persatu kancing kemeja pria itu sambil kepalanya tertoleh ke samping, meskipun begitu sesekali ia akan melirik sanksi.
Huh?!
Terkejut, ia meneguk ludahnya susah payah. Tatto elang hitam di dada sebelah kiri dengan tulisan BW, lalu di seluruh tangannya penuh dengan tatto- "eem aku takkan di bunuh karena memegang tubuh seorang gangster kan ya?"
Tidak, ayo demi kemanusiaan.
Hanni lalu memeras handuk yang sebelumnya ia celupkan dalam wadah berisi air lalu membasuh tubuh pria itu dari darah yang mulai mengering, setelah bersih ia kemudian mengobati dan memasang perban pada lukanya.
Ternyata pria gengster itu juga memiliki tatto besar di punggungnya, seekor ular besar bersisik yang mana memenuhi punggung tegap lebarnya satu kata, mengerikan!
"Aku lelah!" Matanya melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 2 pagi.
Dengan langkah lelah Hanni pergi menuju kamarnya berada dan langsung membaringkan tubuh lelahnya, tak butuh waktu lama untuk kantuk menguasainya dan membawa dirinya menuju alam mimpi.
***
"Ya!"
Dengan wajah khas bangun tidur, rambut bak singa serta bekas air liur di sela-sela bibirnya Hanni berteriak kencang melihat bagaimana berantakan rumahnya.
Matanya yang tajam menyorot nyalang ke arah seorang pria berbadan besar yang kini tengah berdiri di depan televisi, dengan tergesa Hanni berjalan mendekat.
"Apa yang kau lakukan pada rumah ku, big boy?!"
"Bukannya berterima kasih karena aku sudah menolong mu kau malah menghancurkan rumah ku!"
"Aish sialan sekali hidup ku, tau begini aku tinggal saja kau sekarat di jalanan. Membiarkan mu menjadi tontonan warga di pagi harinya, sialan!"
"Anu-"
"Diam kau!" Telunjuknya melayang ke arah pria itu, "jangan menyela ku."
Hanni mengacak kepalanya kesal lalu duduk di sofa dengan kaki yang saling bertopang, "berdiri di depan ku!"
Pria itu menurut dan berdiri di depan Hanni, "duduk!"
Lagi, pria itu menurut.
Hanni menatap pria di depannya dalam diam mencoba meredakan emosinya yang tadi membludak tak terkendali. Ia menghela napas panjang, "bantu aku bersihkan kekacauan yang kau buat."
Tak membutuhkan waktu lama bagi keduanya membersihkan rumah, kini flat itu telah kembali bersih. Karena waktu keduanya habis untuk membersihkan rumah membuat waktu sarapan terlewat begitu saja, capek dan malas membuat Hanni hanya membuat 4 potong sandwich dan masing-masing satu gelas jus jeruk.
"Makan lah."
Sedikit heran melihat pria gangster itu tak banyak bicara dan terkesan menurut dengan apa saja yang Hanni perintahkan.
"Nama ku Hanni, siapa nama mu?"
Pria itu mendongak, "Ocean."
Hah?
"Ocean," ulangnya.
"Nama ku Ocean."
Hanni mengangguk pelan, "jadi apalah kau seorang gengster?"
"Tidak!"
Apa?
"Bukan?"
Dia menggeleng, "aku bukan anggota gengster."
"Oke?" Wajah Hanni benar-benar tak mempercayai itu.
"Ck aku bukan seorang gengster, dan itu tak ada hubungannya dengan tatto ku."
Hanni mengangguk pelan, "anggap saja aku percaya. Tapi bukankah gengster itu identik dengan badan besar dan bertatto? Kau?"
"Aku bukan~!" Lihat pria itu merajuk.
"Apa salahnya sih memiliki tatto dan otot? Apa-apa mengaitkannya dengan gengster, menyebalkan!" Dia menggerutu kesal.
Cukup aneh melihat sifat pria di depannya, lama diam Hanni merasa tak asing dengan wajah Ocean.
"Ah kau! Cucu pemilik Bert Town!"
Ocean Finn Harlow Bert.
Sean mengangguk seraya melahap potongan terakhir sandwich nya, "ya aku salah satunya."
Sungguh tak bisa dipercaya, "jadi kau benar-benar bukan seorang ketua gangster?"
"Ck bukaaaan!"
"Tapi gosipnya-"
"Itu hanya gosip!" Sela Sean dengan wajah muak ingin muntah.
Tak lama wajahnya murung dengan kepala tertunduk, "hiks...!"
Eh?
"Apa salahnya sih punya tatto? Apa salahnya punya otot? Kenapa orang-orang selalu takut pada ku? Mereka bahkan menjauhi ku...!" Kepalanya mendongak menatap Hanni dengan wajah penuh air mata, dia mengelap wajahnya.
Tak tega Hanni berdiri dan menghampiri Sean lalu memeluknya, "big boy sudah yaa jangan menangis. Maafkan aku juga, sudah ya."
Entah bagaimana Hanni secara implusif menangkup wajah Sean lalu mengusap air matanya. Hanni yang memiliki jiwa lemah terhadap anak kecil tak bisa mengabaikan Sean.
Padahal mereka baru saja bertemu untuk pertama kalinya.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mr. Big boy
Romance[COMPLETED] Hanni tak pernah mengira jika pertemuan nya malam itu ternyata menjadi titik awal kisah cintanya di mulai. Pria gengster itu ternyata hanya seorang pria cengeng yang membutuhkan tempat tinggal, bagaimana saat keduanya tinggal satu atap y...