IX

1.4K 135 7
                                    

Buakk!!

Tongkat golf itu melayang tepat mengenai kepala Sean dengan keras.

"Apa hanya itu alasan mu hah?"

"Meninggalkan rapat hanya karena seorang perempuan? Apa kau gila Ocean!!"

Tes.. tes..

Setetes demi tetes darah jatuh ke lantai, setengah wajahnya bermandikan darah. Namun ia tetap berdiri tegap tanpa goyah-

"Kakek mempercayai mu Ocean dan apakah ini balasan untuk kakek mu ini hah? Kesempatan yang sudah kakek berikan pada mu kau buang layaknya sampah!"

Ocean menaikkan padanganya, "kakek, aku tidak ingin menjadi penerus mu!"

"Aku ingin hidup sesuai keinginan ku-"

Plak!

Wajahnya tertoleh kencang meninggalkan jejak membiru dan terluka di sudut bibirnya. Sang kakek menamparnya-

Axelion begitu marah, "kesempatan terakhir dari ku. Datanglah saat rapat umum nanti jika tak ingin aku usik Daddy dan perempuan mu itu!"

Sean keluar dari ruangan kakeknya tak peduli pada lukanya yang terus mengeluarkan darah ia hanya mengusap cairan kental itu dengan punggung tangannya, beberapa karyawan yang tak sengaja berpapasan dengan Sean menyapa dengan ketakutan.

"Tuan-" Chris terkejut.

Mobil itu berlalu Chris mencari sesuatu dan menemukan sekotak tissue lantas memberikannya pada sang tuan, "tolong tuan setidaknya bersihkan darah anda."

Sean menerimanya, "terima kasih Chris."

"Apa Daddy sudah tau?"

"Tuan sudah tau tuan muda."

Sean menghembuskan napasnya, "antarkan aku menemui Hanni."

"Baik tuan muda."

Seminggu berlalu setelah kejadian tak mengenakan yang membuat tangan kirinya harus beristirahat sejenak dari aktivitas, untung saja ada si bayi besar yang mengurus dirinya selama di rumah.

Menikmati rutinitas harian seperti ini membuat Hanni merasa hidup kembali. Jam istirahat tiba Hanni bersiap untuk membuka kotak bekalnya sebelum Adel datang dengan wajah ketakutan-

"K-kak itu-"

"Astaga!" Hanni tak dapat menyembunyikan keterkejutannya saat mendapati Sean dengan senyum tampannya datang, namun pria itu datang dengan keadaan yang tak baik-baik saja.

Lengan bajunya penuh darah, wajahnya babak belur dan luka di kepalanya yang paling parah.

"A-apa yang terjadi pada mu?!"

Sean mendekat lalu tanpa merasa malu menumpukkan kepalanya di bahu yang lebih kecil, "aku lelah Hanni. Rasanya sakit sekali~ kepala ku sangat pusing."

Hanni segera menahan bobot tubuh Sean susah payah, "Malik aku izin sampai waktu istirahat selesai!"

Pria itu mengangguk meskipun masih sedikit shock.

Hanni keluar dan menemukan Chris masih setia di sana, "kita ke rumah sakit!"

"Baik nona."

Sesampainya di rumah sakit Sean segera diobati sejak dan dirinya masuk ke ruang rawat untuk di obati Hanni tak henti-hentinya memelototi dirinya, bahkan saat dokter tersebut menjahit luka di kepala Sean perempuan itu berdecak kesal.

Setelah sang dokter selesai mengobati pasiennya Hanni mendekat dan menjewer telinga Sean kencang, "aduh aduh sakit Bae!"

"Tadi bilang apa?"

"Sakit bae~!" Suaranya mendayu lirih dengan kedua mata berkaca-kaca.

"Aduh mba suaminya jangan di siksa begitu kasian."

"Gak papa lho bu tanda sayang itu."

"Ah pasangan muda bikin iri saja."

"Dulu kita juga kayak gitu ya mas, love language nya physical attack hihi."

Wajah Hanni total memerah mendengar obrolan para ibu-ibu di sana.

"Aku tuh bingung kenapa sih gak langsung ke rumah sakit? Mana segala nyamperin aku dulu. Mau mati iya?" Hanni mengomeli Sean, "aku tuh khawatir Sean... melihat mu datang dengan tiba-tiba dalam keadaan terluka. Aku gak suka Sean aku tidak menyukainya!"

Sean merasa bersalah pun menarik tangan Hanni pelan hingga mendekat padanya, "maaf aku gak ada niatan buat kamu khawatir. Maafin aku ya?"

Pinggangnya di peluk Hanni hanya mengangguk malas sambil mengelus rambut Sean.

Tbc.

My Mr. Big boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang