Siapa yang ingin terlahir dengan kekurangan? semua orang menginginkan kesempurnaan!
________
Melangkah pelan ke arah motornya berada, Madafa kembali menatap sekeliling yang sudah sepi hanya ada anak-anak yang ikut organisasi yang masih berada di sekolah.
Menaiki motor itu lalu menjalankannya dengan kencang, rintik hujan tidak membuatnya ingin berhenti malah semakin menambah kecepatan motornya.
Tapi Madafa berhenti sejenak saat matanya tidak sengaja melihat perempuan yang akhir-akhir ini mengganggunya di kelas. Tepatnya sudah satu minggu Madafa bersekolah di sana dan Neina tidak berhenti mengganggunya.
"Ngapain?"
Neina melirik Madafa dengan senyum lebarnya"Dafa?"
Madafa hanya mendecakan mulutnya kesal, di tanya malah balik tanya.
"Ngapain?"Ulangnya.
"Gue? oh gue lagi nunggu ujannya berhenti. Nih ya, meskipun ujannya kecil tapi keselamatan dan kesehatan tubuh itu penting banget buat di jaga"Neina tersenyum sangat lebar ke arah Madafa, sedangkan Madafa sendiri bergidig ngerti melihatnya.
Madafa hanya mengangguk saja setelahnya, lalu menatap langit yang masih menjatuhkan rintik hujan.
"Lo masih mau di sini?"Madafa bertanya tanpa menatap Neina sedikit pun.
Neina sendiri tersenyum malu-malu lalu menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya. Apakah Madafa akan mengajaknya pulang, seperti di Drakor yang sering ia tonton.
Romantis sekali bukan?
"Tadinya sih iya, tapi kalo lo mau ngaj--"
"Gue duluan"
Apa yang sudah Neina pikirkan? Romantis? yang benar saja, yang ada malah di tinggal.
"Ngeselin banget, untung ganteng"
"Lo telat"
Madafa hanya mengangguk sekilas, lalu turun dari atas motornya"Sorry gue telat"
Araf hanya menatap Madafa sekilas lalu mendecakan mulutnya pelan"Cepet kerja! jangan lupa pake topi lo, tutupin tuh mata"Araf pergi setelah melempar lap tepat ke wajah Madafa yang masih berdiri tegak.
Madafa hanya meremas lap itu dengan erat. Dia harus apa?
Melawan?
Lalu di pecat?
Menghembuskan nafasnya dalam, ia lalu bekerja memperbaiki motor atau mobil yang bermasalah. Iya, Madafa hanya seorang montir tidak lebih, jangan pernah berekspresi tinggi tentang dirinya.
"Bang motor gue mogok nih, coba tolong cek in"
Madafa menghentikan kegiatannya lalu menatap pelanggan yang baru saja berdiri di belakangnya dengan motornya.
"Iya bentar gue beresin ini dulu"
"Tapi gue buru-buru, beresin punya gue dulu lah"
Madafa menghela nafasnya dalam, lalu mencengkram ban karet yang masih ia pegang di tangannya dengan keras.
"Gue bilang, gue selesein satu-satu dulu"
"Tapi gue buru-buru, motor gue dulu yang harus lo beresin"Sewot si pelanggan tidak terima.
Madafa berdiri, lalu membanting ban yang masih ia pegang dengan kasar.
"Lo tau sabar ga sih?!"
Seketika pelanggan tersebut menatap Madafa terkejut, ia lebih terkejut menatap mata Madafa yang menyala merah saat sedang marah.
"S-serem banget mata lo"Si pelanggan tersebut langsung pergi meninggalkan motornya begitu saja.
Madafa sendiri langsung menunduk, saat sadar apa yang baru saja ia lakukan.
Lagi-lagi semua orang takut dengan matanya. Madafa harus bagaimana?
Araf yang sejak tadi memperhatikan situasi itu langsung menghampiri Madafa yang masih menunduk.
"Lo pulang aja, kerjaan biar gue yang beresin"Katanya dengan sedikit ketus.
Madafa sendiri langsung menggelengkan kepalanya, ini tanggung jawabnya tidak mungkin ia tinggalkan begitu saja.
"Gue bilang pulang, ya pulang Daf!"
Madafa langsung menatap Araf yang sudah menjauhinya. Sedetik kemudian ia mengepalkan kedua tangannya dengan erat menahan emosinya supaya tidak meledak.
"Gue marah, tapi gue ga bisa benci lo"
Madafa pergi menaiki motornya untuk kembali ke rumah, sedangkan Araf langsung menatap kepergian Madafa dengan tersenyum sinis.
"Yang penting lo ga mati, gue udah baik-baik aja"
Madafa melangkahkan kakinya menuju rumah sederhana di pinggir jalan. Rumah yang selama ini menampung kehidupannya.
Tapi setidaknya Madafa cukup bersyukur, ia tidak perlu tinggal di jalanan, meskipun terkadang kehidupannya cukup kejam.
"Pulang jam segini? kelayapan ke mana kamu?"Madafa menghentikan langkahnya, menatap Kadaf sang-Ayah yang menatapnya tajam.
Apalagi kali ini, Madafa cukup lelah dan hanya ingin beristirahat.
"Kerja"
Kadaf terlihat menganggukkan kepalanya pelan, melipat kedua tangannya di bawah perut, lalu melangkahkan kakinya agar lebih dekat ke arah Madafa.
"Seharusnya kamu emang bisa di andalkan, cukup mata itu aja yang bawa sial"Kadaf menepuk pundak sang anak, lalu pergi meninggalkan Madafa yang hanya terdiam.
"Lagi-lagi mata, gue benci punya mata kaya gini"Berjalan cepat untuk segera masuk ke dalam kamarnya, menguncinya dari dalam.
Madafa berbaring telentang di atas kasurnya, memejamkan matanya erat-erat. Lalu memukulinya dengan tangan.
Terus memukuli mata itu hingga memerah, perih yang ia rasakan. Terkadang Madafa sengaja memasukkan jarinya mencolok matanya hingga air matanya keluar.
"Gue benci punya mata kaya gini"
Terus memukuli bahkan menekannya hingga cukup terasa pusing di kepalanya.
"Gara-gara ini gue selalu di ejek, emangnya mata gue kenapa? apa se'menakutkan itu"Madafa tertawa miris lalu beranjak ke kamar mandi. Mencuci wajahnya lalu menatap kedua matanya yang memerah karena perih.
Lihat, mata yang awalnya berwarna merah darah, malah semakin merah karena ulahnya. Dan mata hitam itu juga ikut sedikit memerah.
"Cukup mata ini aja yang bawa sial, hidup gue jangan"Madafa mencengkram pinggiran wastafel dengan erat, lalu menundukkan kepalanya dalam. Tidak berani menatap mata itu lebih lama.
22.48 wib.
KAMU SEDANG MEMBACA
MADAFA'S EVIL EYES
Teen FictionAda banyak luka untuknya. Ada banyak cinta untuknya. Bahkan ada banyak cara untuk menyembuhkannya. Tapi kenapa akhirnya, memilih mengakhiri? Dia Madafa, pemilik mata iblis semerah darah. Keunikan yang dia miliki membawanya pada kesialan, dirinya ter...