12. about him

5 1 0
                                    

Waktu selalu merubah segalanya, entah itu tentang perasaan, sikap ataupun sifatnya!

________


"Papah kemaren ketemu sama dia"

Nyatanya suhu ruangan yang dingin tidak memberikan efek apapun, hawa panas malah lebih mendominasi di ruangan ini.

"Papah gila, ya?"

Melangkahkan kakinya untuk mengambil sebuah rokok, lalu membakarnya dan langsung menghisapnya. Asap sudah mulai terlihat berterbangan di udara, menambah sesak bagi orang yang mempunyai gangguan pernapasan.

"Papah kaya gitu, buat kebaikan kamu sendiri"

Araf memalingkan wajahnya kesamping, tidak mau menatap Kadaf. Dirinya mulai kesal dengan sikap sang Papah yang seenaknya.

Pantas saja Madafa sering memberontak, tapi setidaknya Madafa pintar tidak menunjukkan perlawanan itu terang-terangan. Tidak seperti Araf yang langsung membantah.

"Papah udah ga berhak, ikut campur urusan aku sama dia!"Araf berteriak kesal menatap Kadaf yang terlihat santai menghisap rokoknya"Harusnya Papah inget, perlakukan Papah dulu kaya gimana. Papah bahkan hancurin hidup aku, dan sekarang apa lagi? udah Pah, jangan usik hidup Neina lagi"

"Kamu nyerah?"

Araf diam, tidak tahu harus menjawab apa. Haruskah ia jujur, atau berbohong lagi.

"Ga bisa jawab kan?"Kadaf terlihat mengejek, lalu mematikan rokoknya yang sudah habis setengah"kalo gitu berjuang, sekali lagi"Lanjutnya.

Cklek!

Dua orang dalam ruangan itu mengalihkan perhatiannya pada sosok yang baru saja masuk kedalam rumahnya. Tanpa menatap mereka, Madafa langsung melangkahkan kakinya menuju kamar.

"Ga sopan! inget Araf, kamu jangan pernah contoh perilaku dia"Tunjuknya pada sosok Madafa yang perlahan menghilang di telan tembok.

"Ga sopan! inget Araf, kamu jangan pernah contoh perilaku dia"Tunjuknya pada sosok Madafa yang perlahan menghilang di telan tembok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Madafa menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Lalu memejamkan matanya erat-erat menghilangkan bayangan dua orang tadi. Kenapa juga mereka harus mengobrol di rumah, kenapa tidak di luar saja.

Araf memang selalu lebih unggul darinya, entah dari segi keberuntungan atau kasih sayang orang tuanya. Tidak seperti Madafa yang menyedihkan.

Madafa membuka matanya saat pintu kamarnya terbuka, Araf masih berdiri di ambang pintu menatap Madafa ragu.

"Masuk aja"

Dengan pelan Araf melangkahkan kakinya, berdiri di depan Madafa yang masih berbaring di atas kasurnya.

Araf ingin mengatakan sesuatu tapi dia ragu, dan Madafa menyadari itu"Ngomong aja"

Araf menghembuskan nafasnya dalam, lalu menarik kursi untuk dirinya duduki.

"Kenapa lo, ga masuk kerja?"

Madafa bangkit dari tidurnya, menatap Araf dengan heran"Bukannya lo, yang nyuruh gue buat berhenti?"

Araf mengingat-ingat sesuatu, apakah dirinya pernah mengatakan itu"Kapan?"Tanyanya.

Madafa berdecak kesal menatap Araf yang terkesan main-main menanggapi ucapannya.

"Mendingan, keluar aja deh lo dari sini!"

Araf bangkit dari duduknya, menatap Madafa dengan tatapan yang tidak bisa Madafa mengerti. Tatapan apa itu?

Kecewa?

Putus asa?

Atau, marah?

"Ini emang bukan rumah gue, dan lo juga ga berhak ngusir gue dari sini. Ini rumah Papah kalo lo lupa"Araf maju lebih dekat ke arah Madafa, menunjuk wajah Madafa dengan jari telunjuknya"Urus mata lo, biar orang-orang ga takut liatnya. Mata aneh kaya gitu, bisa apaan sih?"

Madafa langsung menundukkan kepalanya, memejamkan mata itu erat-erat. Dan Araf yang melihat itu hanya mendengus singkat, lalu pergi begitu saja dari kamar Madafa.

Perlahan Madafa mengangkat kepalanya, lalu melirik sebuah pensil yang tergeletak di atas meja. Tangannya bergetar saat ingin mengambil benda tersebut.

Kenapa Madafa selalu lemah saat menyangkut tentang matanya. Seolah harga dirinya tercoreng habis ketika ia harus menundukkan kepalanya sendiri. Madafa selalu tidak berani menatap orang-orang yang menghina matanya secara gamblang.

Madafa mengarahkan pensil itu ke arah mata kirinya. Mendekatkannya dengan perlahan, tidak ada keraguan sekali dalam dirinya.

Tapi suara milik seseorang berputar begitu saja di kepalanya.

"Mata lo, keren banget!"

"Dafa, mata lo indah banget"

"Ga ada yang namanya, mata itu bawa sial. Dan Lo masih beruntung masih punya mata"

Seolah kata-kata Neina terngiang begitu saja di kepalanya.

Beruntung masih punya mata?

Apakah sekarang Madafa harus terlihat beruntung?

Tangannya melempar pensil itu begitu saja. Satu sudut bibirnya terangkat membuat seringai itu terlihat seperti menyeramkan.

"Lo masuk hidup gue, berarti lo ga bisa keluar gitu aja"Madafa menatap pantulan wajahnya di depan cermin"Kecuali, gue yang nyuruh buat lo pergi "

"Gue mau egois buat kali ini aja"Gumamnya, lalu buru-buru mengganti seragam sekolahnya dengan baju santai. Tidak lupa mengambil hoodie nya, memakainya dengan asal.

Tangannya bergerak mencari kunci motornya. Setelah ketemu kakinya melangkah untuk keluar, tapi sebelum itu pandangan menatap Kadaf yang sedang duduk santai dengan satu batang rokok di bibirnya. Matanya beralih menatap sekitar, sepertinya Araf memang sudah pergi.

Tanpa menatap Kadaf terlebih dahulu, Madafa keluar begitu saja dari dalam rumahnya, tidak menghiraukan tatapan sinis sang Papah.

"Kita lihat, sampai kapan kamu berhenti memberontak"Kadaf melihat Madafa yang sudah pergi dengan motornya.





18.51 wib.

MADAFA'S EVIL EYES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang