Tidak ada yang namanya sebuah kebetulan, jika kita di takdirkan untuk bertemu, mungkin itu yang dinamakan jodoh!
_____________
"Nei pulang!"
"Ga usah teriak, Mama denger!"Roro-Mama dari Neina, menjewer telinga anaknya dengan pelan. Roro tidak setega itu pada anaknya.
"Sakit Mah!"Neina menggosok-gosok telinganya, padahal tidak sakit sama sekali. Lebay memang.
"Alesan banget, banyak drama"Roro melangkahkan kakinya ke arah dapur, Neina sendiri mengekori Roro dari belakang.
"Tumben masak banyak?"Neina mencomot kentang goreng yang masih panas. Dengan kesal Roro langsung menepis tangan Neina, sampai-sampai kentang goreng itupun jatuh ke lantai.
"Tuh, jatoh kan Mah!"Neina kembali mengambil kentang yang sudah jatuh itu, dan memasukkannya ke dalam mulut.
Roro membulatkan matanya terkejut, lalu langsung menyeret Neina ke arah wastafel. Memukul-mukul tengkuk Neina, supaya mengeluarkan kembali kentang tersebut.
"Apaan sih Mah, sakit!"
"Itu jorok Nei! keluarin sekarang!"Roro terus menepuk-nepuk tengkuk Neina.
"Aduh ga bisa Mah, lagian udah masuk ke dalem perut. Ga bisa keluar lagi"Dengan kesal Neina menyingkirkan tangan Roro di belakang lehernya.
Roro menghembuskan nafasnya dalam, menatap Neina dari atas hingga bawah. Membuat Neina risih sendiri di tatap seperti itu.
"Kamu tuh ya! jangan asal nyomot makanan, apalagi ngambil makanan yang udah jatoh di lantai, banyak kumannya. Kalo sakit perut gimana?"
Tanpa sadar Neina mengusap perutnya sendiri, berharap ucapan Roro hanya candaan semata.
"Ya Mama ga usah ngedo'ain, lagian belum lima menit. Kalo kata orang sih, masih bisa di makan, di telen, di kunyah, masuk perut, kenyang deh"Neina berujar dengan santai, lalu meninggalkan Roro yang masih diam melihat tingkah anak semata wayangnya itu.
"Cepet mandi Nei! Papah pulang hari ini. Kita makan malem bareng!"
"Jangan lupa, yang itu juga di pindahin"
Madafa hanya mengangguk saja, lalu membenarkan topinya yang sedikit berantakan. Dengan lincah tangannya mengotak-atik mobil yang ada di depannya saat ini.
"Mobil yang warna merah juga kerjain. Gue liat tadi yang punya udah nanyain"
Kali ini Madafa hanya diam, tidak membalas ucapan Araf sama sekali"Denger ga gue ngomong?"
Madafa bangkit dari duduknya, lalu menatap Araf yang juga menatapnya dengan benci.
"Gue ngerti, gue juga paham apa yang harus gue lakuin. Lo ga perlu khawatir"
Araf hanya terkekeh sinis, lalu menepuk-nepuk pundak Madafa dengan pelan"khawatir? bahkan gue ga peduli sedikitpun sama lo, ngerti?"
Madafa menepis tangan itu dari pundaknya, lalu menatap Araf tanpa ekspresi"Hei bro, ga usah liatin gue gitu banget. Mata lo bikin sial"Araf terkekeh sinis, lalu pergi meninggalkan Madafa yang langsung menundukkan kepalanya. Membenarkan topinya kembali.
Angin berhembus cukup kencang malam ini. Sedangkan Madafa hanya duduk memandang langit yang bertabur bintang, dan satu bulan yang menghiasinya. Sangat serasi.
Bintang mempunyai bulan. Lalu dirinya, mempunyai siapa?
Madafa tertawa pelan, lalu meraba sebelah matanya dengan pelan.
"Gue ga pernah minta...dia ada, karena ini emang punya gue"
Bayang-bayang itu sekilas melintasi pikirannya. Dengan cepat Madafa langsung menggelengkan kepalanya, berharap ingatan itu pergi dari kepalanya.
"Dafa!"
Suara tidak asing itu menyapa telinganya. Madafa tidak menoleh sedikitpun, saat seseorang duduk tepat di sampingnya.
"Ko lo di sini, Daf?"Neina bertanya dengan antusias. Tidak sia-sia dirinya kabur dari rumah.
Madafa menolehkan kepalanya ke samping, menatap Neina yang masih tersenyum lebar ke arahnya.
Madafa akui, Neina begitu cantik. Entah apa motifnya terus mendekatinya, bukannya tidak sadar. Jelas Madafa sangat sadar jika Neina terus mendekatinya.
"Apapun tujuan lo, jangan terlalu deket sama gue"Neina melunturkan senyumnya, lalu menatap Madafa tidak terima.
"Maksud lo gue deketin lo, karena tujuan gitu?"
Madafa mengangkat bahunya tidak tahu, lalu tangannya menepuk-nepuk kepala Neina pelan.
"Gue tau lo orang baik, lo ga pantes deket orang kaya gue"
Apa ini? kenapa rasanya dada Neina terasa sesak. Ia marah, bahkan kecewa saat Madafa menyuruhnya untuk menjauhinya.
"Apa hak lo buat ngatur-ngatur gue?"Neina berkata pelan, setelah menyingkirkan tangan Madafa dari kepalanya.
Jika terus di biarkan, rasa itu semakin tumbuh di hatinya. Neina juga tidak ingin itu terjadi, menyukai Madafa? yang benar saja.
Madafa menggeleng, lalu bangkit dari duduknya tanpa menatap Neina kembali"Lebih baik lo pulang, gue ga mau tanggung jawab, kalo semisal lo kenapa-kenapa"
Madafa menaiki motornya, menjalankannya begitu saja. Meninggalkan Neina yang masih shok di tempatnya.
"Yang bener aja! gue di tinggal?"Neina berteriak kesal ke arah Madafa yang sudah tidak terlihat.
"Ga bertanggung jawab banget jadi cowok! setidaknya anterin gue pulang dulu"
Rumahnya memang tidak jauh dari sini, oleh karena itu saat Neina mencoba kabur, dia hanya perlu berlari dengan kakinya. Dan entah keajaiban dari mana, Neina malah melihat Madafa di sini.
"Ga mungkin banget gue suka sama tuh cowok. Cuek kaya gitu, yakali gue suka"Dengan malas Neina kembali pulang ke rumahnya. Kawasan yang lumayan sepi membuatnya sedikit merinding.
Neina mengelus tengkuknya yang sedikit merinding. Ini efek cuaca yang dingin, atau emang ada makhluk halus yang lewat.
Neina menggelengkan kepalanya pelan, lalu mempercepat langkahnya, sambil terus menengok kanan kirinya.
Tanpa sadar seseorang yang mengikutinya tersenyum tipis melihat tingkahnya. Motornya ia dorong dengan pelan, supaya tidak menimbulkan suara. Menunggu hingga Neina sampai di depan rumahnya. Akhirnya orang itupun pergi setelah Neina sampai dengan selamat. Dan poin lebihnya dia juga mengetahui tempat tinggal Neina saat ini.
22.54 wib.
KAMU SEDANG MEMBACA
MADAFA'S EVIL EYES
Novela JuvenilAda banyak luka untuknya. Ada banyak cinta untuknya. Bahkan ada banyak cara untuk menyembuhkannya. Tapi kenapa akhirnya, memilih mengakhiri? Dia Madafa, pemilik mata iblis semerah darah. Keunikan yang dia miliki membawanya pada kesialan, dirinya ter...