6

560 132 3
                                    

Di meja makan terhidang piring berisi panekuk. Tasya melahap makanan tersebut tanpa banyak tanya. Tidak sepertiku yang justru sibuk mengamati makanan tersebut seolah berasal dari Planet Gintoki.

Aroma vanila membur dengan harumnya madu. Sudah lama aku tidak bersentuhan dengan wangi tersebut. Kuraih garpu, kutowel tumpukan panekuk.

“Ayo dicoba, Mbak Kun,” Tasya menyemangati. “Om Danu jago masak. Kamu nggak akan keracunan makanan.”

“Atau, kamu mau minum susu dulu?” Danu menawarkan.

Mencoba makanan. Apa setelah zat tubuhku berubah, maka artinya aku bisa menyantap makanan seperti dulu?

Kupotong secuil panekuk, menyuapkannya ke mulut. Manis menghantam mulut, membuat lidahku bergoyang oleh rasa nikmat. Kukunyah panekuk dengan pelan, setelahnya kutelan.

Sedetik.

Dua detik.

Beberapa detik berlalu.

Tubuhku baik-baik saja.

“...” Tidaaaaaaak! Aku bukan kuntilanak original! Sekarang aku KW. Palsu!

Betapa kejam dunia. Begini pahit hingga aku tidak sanggup menangis. Terlalu pedih.

“Selesai mengantarkan Tasya ke sekolah, aku akan....”

Ucapan Danu terhenti saat menyaksikanku melahap seluruh panekuk dengan ganas. Aku tidak peduli dengan sopan santun. Sekarang yang kuinginkan hanyalah mengisi perut dan melampiaskan kemarahanku pada benda mati.

“O-oke.”

Danu kehilangan kata-kata.

***

Rumah terasa sepi saat kedua orang itu pergi.

Kuputuskan untuk menyendiri di kamar milik Tasya. Aku menarik meja, meletakkan kursi di atas meja, dan memanjatnya. Sebagai kuntilanak sangat mudah melayang dan duduk di atas lemari. Namun, beda cerita saat kemampuan hebatku telah lenyap.

Kini aku terpaksa menggunakan trik demi bisa naik ke atas lemari.

Dalam suasana hati sedih, aku selalu suka menghabiskan waktu dengan duduk di atas lemari maupun beristirahat di pohon mana pun. Hanya mengamati rutinitas manusia, tidak melakukan apa pun. Kegiatan tidak produktif itu sangat berhasil menghiburku.

Sekarang itulah yang kulakukan! Mencoba menghibur diri sendiri. Kakiku berayun, maju mundur tapi tidak cantik. Aku tidak suka bersenandung karena sadar kapasitas suara tidak kompeten. Paling bagus digunakan untuk mengusir ayam. Itu saja.

Menjadi manusia itu berarti harus siap menghadapi tantangan.

Masalahnya, aku tidak suka tantangan. Aku terlalu mager dan sudah kenyang dengan pahit dunia. Untuk apa aku menawarkan diri menjalani kehidupan semacam itu kedua kali?

Tidak masuk akal!

Manusia. Menjadi manusia.

Tidak ada buku panduan mengenai jadi manusia yang benar. Semua ada plus dan minus. Namun, sebagai manusia merupakan tantangan besar dan sukar. Manusia memiliki hati yang daya tampungnya sangat luar biasa. Hati bisa menyerap apa pun, menelan apa pun, dan menahannya dalam jangka waktu yang tidak terduga.

Itu berarti, seseorang bisa lama mencintai sesuatu atau sakit hati selama sekian tahun. Bahkan hantu sepertiku pun tidak luput dari hal semacam itu.

Manusia amat unik. Terlalu unik hingga tidak bisa dijelaskan dengan satu kata. Beribu kata tidak cukup mendeskripsikan perihal manusia. Bahkan seorang filsuf pun kesulitan memahami satu manusia dengan yang lain. Mereka seperti sekumpulan warna yang antara satu dengan lain berbeda, tidak sama. Tidak ada hal tepat dalam mendeskripsikan satu manusia dengan manusia lainnya.

Mengapa aku harus menjalani hidup sebagai manusia lagi?

Tidak cukupkah masa lalu pahit itu?

Aku tidak keberatan jadi hantu. Mereka jauh lebih simple daripada manusia. Tidak banyak tuntutan. Hukumnya jelas. Namun, manusia tidak menerima sengketa dan perbedaan. Pasti ada sesuatu yang dituntut dari seseorang oleh masyarakat. Mau tidak mau harus mengorbankan identitas demi bisa diterima oleh suatu kelompok. Agar dianggap sama. Agar dianggap normal. Agar dianggap sebagai manusia.

Aneh, ‘kan?

Setan tidak begitu. Kami menerima perbedaan. Kami mematuhi aturan. Namun, manusia memiliki hukum dan sering melanggarnya. Ini sungguh menjengkelkan. Aku merasa dijebak dan kesulitan keluar dari ancaman mengerikan! Oh apa yang harus kulakukan nanti?!

Entah selama berapa menit atau jam, aku hanya begitu. Duduk dan tidak melakukan apa pun. Lalu, pintu kamar terbuka dan menampilkan Danu.

“Kamu kenapa ada di situ?” tanyanya dengan ekspresi tidak percaya.

Dia membawa beberapa tas karton. Diletakkannya tas-tas tersebut di lantai. Kemudian dia mendekati lemari dan berkata, “Ayo turun. Kamu bisa jatuh.”

Aku menggeleng. “Nanti dulu. Aku butuh waktu.”

Waktu yang sangat banyak agar bisa menerima kenyataan dengan lapang dada.

“Ayolah,” bujuk Danu, “aku beli baju untukmu. Apa kamu nggak pengin mencobanya?”

Kuperhatikan pakaianku. Hmm tidak seksi. “Oke.”

Akhirnya aku bersedia turun. Itu pun Danu sibuk menawarkan tangannya sembari berujar bahwa aku butuh memegangnya agar tidak terpeleset dan jatuh.

Siapa yang butuh itu?

Setelah berhasil turun, aku langsung mengikuti Danu. Dia menyerahkan tas karton yang berisi gaun berlengan panjang. Aku bergegas ke kamar mandi milik Tasya dan mencoba pakaian pilihanku.

Hmmm tidak buruk. Gaun lengan panjang warna merah muda kalem. Roknya sepanjang lutut. Pakaian yang membuatku terlihat manis dan menarik. Sedari dulu aku memang cantik. Itu fakta. Kecantikan tidak ada hubungannya dengan warna kulit. Kulitku yang cokelat ini sangat manis! Siapa pun yang berani menghina warna kulitku akan kugigit sampai kena rabies!

“Kamu jago banget,” kataku setelah keluar dari kamar mandi. “Pas! Aku terlihat sangat menawan, memukau, dan cantik tiada tara.” Kukibarkan rambutku yang potongannya tidak bagus. “Kamu nggak boleh naksir aku, ya?”

Danu terbahak sampai wajahnya merona. “Kepercayaan dirimu membuatku sedikit lega. Itu artinya kamu sudah nggak bersedih memikirkan hilangnya kemampuan istimewamu.”

Aku pun langsung merengut. “Masih sedih kok. Hanya saja aku berusaha tabah dan nggak mempermasalahkan.”

“Oke, bagaimana kalau kita ke taman?”

Huh hanya anak kecil yang suka diajak ke taman. “Oke.”

***

Aku bermain ayunan. Danu yang bertugas mendorong ayunan sampai aku puas!

“Wuih!” seruku dengan nada riang. “Aku jadi Superman!”

“Iya, cuma bisa terbang segini doang.”

Taman lengang. Hanya ada segelintir orang di sana. Aku sibuk menghibur diri sendiri dengan cara main sepuas hati. Danu tidak keberatan menuruti keinginanku seolah dengan begitu dia bisa dapat uang.

“Udah?” Danu akhirnya duduk di ayunan satunya. Ayunan yang kosong.

Kami menatap pepohonan bungur dan seorang pria yang sedang mengajak anjingnya jalan-jalan. Sunyi, tapi menyenangkan. Aku suka keheningan yang semacam ini. Tenang.

“Apa kamu masih memikirkan cara kembali normal?”

“Nggak tahu,” kataku, jujur. “Mungkin memang nggak ada cara untuk kembali normal.”

Bisa saja ada alasan khusus mengenai keadaanku.

Sampai aku bisa menemukan alasan itu, akan kunikmati hidup sesuai keinginanku. Lagi pula, kata Tasya si Danu ini bersedia menampung beban tambahan.

Dasar cowok aneh.

***
Selesai ditulis pada 9 Juni 2024.

***
Maaf, saya tulis segini dulu. Next time, saya ketik lebih banyak.

Huhuhu terima kasih atas pengertiannya.







Tasya dan Miss Kunti (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang