“Mbak Kun, makasih.”
“Kalau kamu mau berterima kasih, tolong menyingkir dari kasur.”
Usai makan siang yang tertunda, berkat Jelita (tentu saja), aku berencana menghabiskan waktu dengan rebahan. Ranjang milik Tasya secara resmi telah diklaim secara sepihak olehku. Abimayu tidak bisa mendepakku. Akan kuminta kuntilanak lain mengganggu Abimayu andai dia berani kurang ajar. Maksud kurang ajar ialah, mengganggu kegiatan santaiku.
“Ih, Mbak Kun!” protes Tasya sembari menggoyangkan lenganku seperti ayunan maju mundur. Dia tidak peduli dengan diriku yang telanjur menikmati empuknya dunia kasur. “Aku serius!”
“Hmmm sama. Aku juga serius. Sekarang kamu sebaiknya keluar dari sini. Mau tidur siang. Bye.”
Kutarik selimut, mengabaikan celoteh Tasya mengenai perutku akan menggembung mirip sapi. Ha masa bodoh. Aku mau tidur!
“Mbak Kun, aku sayang kamu.” Lantas Tasya memelukku, mengabaikan usahaku mendorong bocah itu.
Bisa saja kudorong dengan sekuat tenaga, tapi itu terlalu berlebihan. Aku hanya ingin dia tahu bahwa semua kasih sayang yang ia berikan terlalu banyak. Sampai cemas diri ini. Takut andai semua sekadar awal dari mimpi buruk.
Saat sesuatu yang baik terlalu tidak masuk akal, perasaan waswas datang mengekor setelahnya.
“Tasya, kamu sebaiknya bicara kepada papamu,” kataku memberi saran. “Katakan bahwa kamu sangat sayang. Bahwa kamu pengin bersama dengannya selama ratusan tahun. Kujamin dia pasti bahagia mendengar ucapanmu.”
“Nggak perlu,” ucapnya sembari terkikik, “Papa tahu aku sayang Papa. Tapi, Mbak Kun.... Kamu nggak tahu kalau aku sayang kamu. Jadi, tolong terima kasih sayangku. Terima semuanya.”
Gawat. Jangan sampai di masa depan Tasya berubah jadi perayu. Bisa jantungan nanti si Abimayu.
“Hmmm hmmm. Tasya, nggak baik bicara manis ke sembarang orang, ya?”
“Mbak Kun, kamu bukan sembarang orang.”
“Iya, benar. Aku kuntilanak.”
Mantan kuntilanak.
***
Tasya tidak tidur di kamar. Akhir-akhir ini dia sering menghabiskan waktu di kamar Abimayu. Sebuah kemajuan, tentunya. Dengan begini hubungan ayah dan anak itu akan membaik.
Bahkan Abimayu pun menunjukkan perubahan positif. Dia bersedia mengantar jemput Tasya. Sepulangnya dari sana, pasti wajah si bapak muda itu akan asam sekaliiiiiii!
“Danu, kenapa kamu pilih sekolah di sana?”
“Kenapa, Kak?”
“Banyak ibu-ibu centil! Salah satu dari mereka bahkan secara terang-terangan menyodorkan putrinya kepadaku.”
“Biasa deh. Aku dulu sering dipepet salah satunya. Makanya aku gunakan Kunti sebagai tameng pelindung.”
Untuk pernyataan terakhir itu, Danu kuhadiahi cakaran sakti pemecah karang.
Tidak berhenti di antar dan jemput, Abimayu pun secara sukarela (semoga saja begitu) menemani Tasya belajar dan bermain. Dia tidak keberatan main rumah-rumahan, masak, atau berdandan.
“Pa, aku mau semua kuku dicat warna oranye dan hijau,” kata Tasya seraya menyodorkan tangannya yang makin gembul. “Ibu jari hijau, kelingking oranye, telunjuk hijau, jari manis oranye, jari tengah hijau.”
Gerakan Abimayu amat kikuk. Kening berkerut, pandangan mata fokus ke kuas, dan bibir terkatup rapat. Dia menunduk dan menyapukan cat ke seluruh jari Tasya. Danu pun secara diam-diam mengabadikan momen tersebut. “Akan kurapikan dalam album keluarga,” begitu katanya kepadaku. “Jadi, kamu sekalian foto berdua denganku. Nanti kutulis di keterangan. Berdua dengan istri-sakit, Kun!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasya dan Miss Kunti (Tamat)
FantasiSebagai hantu merdeka yang tidak terbebani perbudakan oligarpus, menikmati waktu sepuasnya merupakan sebuah kesenangan tidak tertahankan. Namun, itu semua berubah begitu aku bertemu dengan bocah sok tahu yang hobi merecoki waktu santaiku. Dia, si bo...