10

514 121 5
                                    

Kata siapa jadi manusia itu nikmat tiada tara? Tolong sampaikan kepada siapa pun yang pernah berucap demikian: aku muak! Baru beberapa jam menjalani hidup, yang pernah kucicipi dahulu kala, semangat dalam raga lenyap tidak bersisa. Setibanya di rumah usai menjemput Tasya (yang menggemaskan, tapi kadang lebih sering menyebalkan daripada tidak), aku langsung berderap ke kamar Tasya.

Untuk apa? Tentu saja mencari pojok santai idamanku yakni, di atas lemari. Aku meringkuk seperti bayi dalam kandungan. Berpura-pura semua masih dalam kendaliku, berharap apa pun yang kujalani sehari ini sekadar halusinasi.

Aku tidak peduli dianggap aneh oleh manusia mana pun. Percuma peduli terhadap ucapan orang mengenai diriku. Mereka tidak tahu rasanya menjadi aku, mantan manusia yang jadi hantu lalu kesetrum kemudian kembali berdaging. Adapun yang kubutuhkan ialah, ketenangan dan keamanan.

Jantung berdegup kencang seolah hendak meremuk dada jadi serpihan. Keringat dingin membasahi tubuh. Mendadak aku merasa mual.

Jelas aku tidak keracunan makanan. Kalau iya, maka Danu pasti sudah kejang-kejang. Kepalaku pusing. Dunia serasa berputar dan satu-satunya yang kuinginkan hanyalah melayang sebagaimana sering kulakukan sebagai kuntilanak.

“Mbak Kun,” Tasya memanggil.

Suara bocah itu seolah berasal dari dimensi lain. Tempat asing yang tidak bisa terjangkau olehku. Aku memejamkan mata dan berharap serangan keji yang mendadak melandaku lekas sirna. Pergi.

“Mbak....”

Tasya tidak mau menyerah. Dia terus memanggil, memanggil, dan memanggilku. Namun, telingaku tidak mau mendengar panggilan dari Tasya. Ada tempat lain yang ingin kukunjungi. Kuburan tempat berkumpulnya kawan-kawanku. Pohon beringin yang dihuni genderuwo gaul. Indekos Pak RT yang dijaga oleh Nenek.

Aku tidak mau terpenjara di sini.

Aku ingin kembali menjadi sosok tidak terlihat.

Kembali menempati zona nyaman milikku.

“Hei, ayo turun.”

Kali ini suara Danu terdengar.

“Jangan di sana,” Danu mencoba membujuk diriku, “kamu bisa jatuh. Ayo, kemari. Biarkan aku dan Tasya menemanimu. Apa yang kamu takutkan?”

Apa yang aku takutkan?

Banyak!

Ada banyak hal yang kutakutkan sebagai manusia.

Aku tidak sanggup menjalani hidup dengan bekerja, mencari uang, membayar pajak, makan, minum, dan sebagainya. Itu semua kegiatan yang sangat menguras tenaga, pikiran, dan waktu.

“Apa kamu nggak pengin rebahan di kasur?” Danu menawarkan pilihan lain. “Seenggaknya di sana kamu bisa tidur nyenyak dan nggak perlu mencemaskan risiko patah tulang.”

“Aku nggak mau jadi manusia,” kataku dengan suara yang di telingaku terdengar lirih. Nyaris mencicit seperti seekor tikus putus asa di hadapan kucing. “Nggak mau.”

“Mbak Kun!” teriak Tasya dengan suara menggemaskan. “Kalau aku sedang ketakutan, biasanya minta dipeluk Papa. Berhubung di sini nggak ada Papa, Mbak Kun boleh minta peluk Om Danu!”

Bocah kurang ajar!

Sontak aku membuka mata. Melotot, tepatnya. Tasya yang ada di bawah sana hanya memberiku senyuman manis tanpa dosa, seakan ucapan yang ia tuturkan amatlah bijaksana dan benar. Ingin kujitak, tapi aku takut tidak dapat asuransi hidup enak.

“Mbak Kun, aku jujur lho,” ucap Tasya sembari mengedip-ngedipkan mata secara genit. “Papaku nggak ada di sini, jadi aku tawarkan Om Danu. Mau, ya?” Dia mengatupkan kedua tangan jadi satu. “Ayo dicoba dulu. Om Danu nggak setampan Papa, tapi kata Bu Guru nggak ada rotan, akar pun jadi.”

Tasya dan Miss Kunti (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang