19

482 122 3
                                    

Aku berusaha mengesampingkan firasat tidak menyenangkan. Intuisi, anggap saja begitu. Tidak ada hantu, sejauh yang pernah kukenal, paham akan situasiku. Barangkali karena mereka tidak cukup tua hingga pengalaman maupun kebijaksanaan yang mereka miliki terbatas.

Jadilah aku berusaha menemui hantu tua dan cukup mahir dalam urusan dunia. Nenek!

Cukup sulit pergi ke luar. Aku terbiasa menggantungkan hidup kepada Danu. Notabene segala pengeluaran merupakan tanggung jawab Danu. Aku jadi mirip hewan peliharaan. Bedanya, aku bisa menggigit dan menggonggong secara berkala sesuka hatiku.

Ha bukan begitu. Aku punya cukup uang. Uang, uang, uang jajan. Biasanya kuhabiskan ke minimarket dekat rumah atau warung. Jajan. Jajan. Jajan. Cicipi semua makanan dan minuman. Niat hati menyenangkan diri sendiri, tidak tahunya uang tersebut sekarang beralih fungsi sebagai ongkos.

Maaf, aku sedang kacau. Sangat kacau. Otak dalam kepala mulai butuh instal ulang. Andai semudah itu.

Maaf, maaf, maaf aku mulai meracau seperti orang gila. Janji akan kembali ke topik utama. Ya, apa tadi? Oh aku menemui Nenek. Indekos milik Pak RT ramai oleh cewek-cewek yang sibuk keluar masuk. Nenek yang ingin kutemui ternyata sedang berdiri di bawah naungan pohon jambu. Sempat takut, aku, ya aku takut. Takut bila Nenek tidak mengenaliku.

Akan tetapi, Nenek langsung mengenaliku. Dia melayang, perlahan, dan menghampiriku. “Apa yang terjadi denganmu, Cu?”

Mana bisa kujawab? Bukan karena aku tidak memiliki jawaban, melainkan keberadaan manusia di sekitarku. “Nek, bisakah kita bicara di tempat lain?”

Nenek mengangguk. Kuarahkan Nenek agar mengikuti ke area sepi. Tepatnya, di belakang sebuah rumah yang kosong. Di sana hanya ada kucing pemalas yang sedang tidur di atas tembok pembatas. Kucing berbulu warna hitam dan putih, mirip sapi. Dia sama sekali tidak peduli dengan kedatanganku. Terus tidur dan membiarkan burung pipit berkicau riang.

Pemandangan aneh. Dulu aku biasa lewat gang ini, kadang masuk ke rumah kosong, dan menganggap semua biasa saja. Sekarang segala sesuatu jadi beda. Inikah yang orang maksud dengan sudut pandang berbeda?

“Ada apa, Cu? Kenapa kamu ... wujudmu jadi seperti ini?”

Kutatap Nenek yang melayang di hadapanku. Tubuhnya transparan. Aku bahkan bisa melihat tong yang ada di belakangnya.

“Aku tersetrum,” jawabku berusaha menuturkan kejadian ganjil. Mulai dari Tasya, acara menonton, mendadak kena setrum, berubah jadi manusia, kedatangan Abimayu, lalu kondisi tubuh manusiaku yang mulai mengabur pada beberapa kesempatan.

“Bagaimana kalau waktuku di bumi tidak lama lagi akan habis?” tanyaku sembari meredakan debaran dalam dada. Degup akibat rasa takut. Kali ini aku benar-benar disentuh oleh teror yang tidak bisa kujelaskan. “Aku nggak tahu penjelasan logis terkait kondisi wujudku. Namun, Nek! Nenek, aku merasa nggak berdaya.”

Nenek memberiku tatapan lembut. Dia tidak tersenyum maupun mendebat dugaanku. Ia hanya ada di sana, bersamaku. “Aku sudah jadi hantu sekian tahun,” tuturnya. “Belum pernah dengar ataupun melihat dengan mataku sendiri kasus semacam ini. Namun, bila dugaanku benar.... Cu, apa mungkin fenomena perubahan wujudmu ini ada hubungannya dengan permohonan Tasya? Kamu bilang bahwa dia pengin kamu jadi manusia, ‘kan, sebelum peristiwa itu terjadi? Mungkin andai dia memohon kamu kembali jadi kuntilanak, itu bisa saja menolongmu.”

Benarkah? Semudah itu?

“Nggak terlalu berharap, Nek,” aku mengakui keputusasaan dalam hatiku. “Aku nggak berani mengganggu Tasya dengan masalahku. Dia anak yang menyenangkan. Aku pengin dia fokus ke dunia masa kecil yang indah. Nggak perlu tambahan masalahku.”

Tasya dan Miss Kunti (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang