Aku benci keramaian. Pengunjung yang hadir di taman bermain justru mempersulit diriku. Beberapa kali saat kupikir bisa sampai ke tujuan yang dimaksud rekanku, selalu ada gangguan. Mulai dari seseorang yang menyenggolku hingga hampir jatuh, bertatap muka dengan cowok asing yang mengira diriku tertarik berkenalan (aku menolak), lalu sejumlah anak kecil yang menangis karena mereka ternyata bisa melihat rekanku (bukan pertanda bagus).
“Cepat! Dia menyeret si bocah ke area sepi!”
“Iya,” sahutku amat ketus, “aku berusaha berlari!”
Terus terang staminaku sungguh tidak bisa kubanggakan. Aku kesulitan bernapas, mataku mulai berkunang-kunang, dan jantung memompa dengan kecepatan yang membuatku merasa akan meledak.
“Kenapa bapaknya nggak kompeten begini, sih?” tuduh rekanku. Dia melayang di dekatku, sama sekali tidak terganggu dengan semakin sepinya jalan yang kami lewati. “Dia nggak bisa menjadi orangtua yang baik apa?”
“Andai jadi orangtua semudah itu, ya?” kelakarku berusaha mengikuti Jelita.
Di sanalah Jelita. Dia berjalan sembari menyeret Tasya yang terus merengek. Di belakang Jelita ada seorang pria ceking berbalut pakaian serbahitam. Mereka menghilang di balik sebuah bangunan yang tidak dipergunakan oleh pihak pengelola taman hiburan.
Sepi. Aku bahkan tidak mendengar nyanyian apa pun atau suara mesin bekerja. Hanya pepohonan menjulang. Mangga, talok, dan pucuk merah.
“Konyol!” pekikku sembari mengacak rambut. “Aku nggak bisa menghadapi pria itu!”
“Aku bisa kok,” rekanku menyahut. “Mau kulempar batu?”
Itulah yang rekanku lakukan: mencari batu.
Kami, aku dan rekan setanku, bersembunyi di balik tumpukan tong. Langsung hajar? Gila, ya? Aku tidak punya kemampuan bela diri. Salah-salah tindakanku justru mencelakakan Tasya. Saat ini Jelita hanya sedang berkoar-koar di hadapan Tasya yang tengah menangis. Samar-samar kudengar dia berteriak, “Kamu nggak bisa rayu papamu agar bersedia menikahiku?”
Astaga bodohnya. Aku paham rumus merayu duda melalui anaknya, tapi bukan begitu cara mainnya dodol! Dekati dengan halus, bukan ancam-mengancam-diancam-terancam!
“Ya ampun, ada orang dungu,” sembur rekanku. “Hihihi dijahili sedikit kabur kali ah.”
Tanpa menunggu persetujuanku, rekan pemberani melayang dan berusaha mendekati si ceking. Namun, tidak sampai satu meter dia langsung terpental dan kembali kepadaku sembari meringis.
“Jimat!” teriaknya seolah merasa terkhianati. “Manusia zaman sekarang kalau nggak pakai susuk dan jimat merasa nggak percaya diri?”
“Aku nggak tahu.”
Tidak bagus! Buruk! Artinya rekanku tidak berguna. Aku juga tidak berguna. Maka, yang bisa kusarankan hanya ada satu.
“Kamu cari Danu,” saranku. “Jangan sampai kita terlambat.”
“You gila, ya? I capek-capek melayang menemani Anda, lalu Baginda menyuruhku mencari kakandamu? Di keramaian?”
“Nggak usah protes. Aku mantan kuntilanak. Gini-gini aku tahu kalau kuntilanak nggak merasa lelah gara-gara melayang.”
“Tapi, mereka nggak sepertiku. Aku kena gempur jimat lho.”
Iya juga. “Cuma melayang dan cari orang doang. Ayo cepat, buktikan bahwa kamu kuntilanak modern dengan visi dan misi cemerlang.”
Dia masih belum tergerak.
“Aku akan minta Danu buatkan ayunan di pohon kesayanganmu,” janjiku berharap bujukanku akan mendapatkan penerimaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasya dan Miss Kunti (Tamat)
FantasiSebagai hantu merdeka yang tidak terbebani perbudakan oligarpus, menikmati waktu sepuasnya merupakan sebuah kesenangan tidak tertahankan. Namun, itu semua berubah begitu aku bertemu dengan bocah sok tahu yang hobi merecoki waktu santaiku. Dia, si bo...