16

416 114 4
                                    

Aku tidak punya pengalaman membahagiakan bersama orangtua. Kehidupanku dipenuhi drama percekcokan antara ibu dan ayahku. Jelas masalah utama didasari pada finansial.

Tidak perlu orang cerdas, diriku yang bodoh pun paham akar permasalahan.

Ayahku tidak bekerja secara serius. Dia terbiasa dilayani dan disenangkan oleh orangtua angkatnya. Oh ya, perlu kujelaskan bahwa ayahku merupakan anak ketiga dari suatu pasangan. Karena kerabat si pasangan ini tidak punya anak, jadilah ayahku yang baru mengoek diserahkan kepada pasangan tersebut.

Pada awalnya semua baik-baik saja, hingga suatu hari Kakek, ayah angkat ayahku, berselingkuh. Mereka bercerai saat ayahku duduk di bangku SMP. Jangan harap kisah tegar perjuangan anak lelaki mencari jati diri hingga jadi sukses. Tidak ada! Ayahku sedari awal tidak tertarik serius belajar. Dia menggunakan uang sekolah untuk foya-foya. Sampai akhirnya orangtua kandung ayahku turun tangan dan memaksa ayahku masuk ke SMA swasta.

Lulus SMA kenalan orangtua kandung ayahku bersedia mempekerjakan ayahku. Namun, itu pun tidak berlangsung lama. Ayahku tidak betah dan mengundurkan diri.

Tahun berikutnya ayahku sebetulnya bisa saja jadi PNS, tapi sama seperti kejadian lalu. Dia tidak betah dan tidak terbiasa bekerja di bawah peraturan ketat. Ia memutuskan merantau ke Jakarta. Di sanalah dia bertemu ibuku yang bekerja sebagai asisten rumah tangga.

Kuberi tahu, ibuku itu tolol. Sangat tolol! Ayahku di Jakarta pun tidak benar-benar bekerja. Dia hanya sibuk menghabiskan uang kiriman dari desa. Alasannya, sih, cari pekerjaan. Cih bohong. Dusta! Dengan penuh percaya diri ayahku melamar ibuku dan bicara jujur, “Aku nggak punya pendapatan tetap. Kerjaku serabutan. Apa kamu mau menikah denganku?”

Ibuku mungkin kebanyakan nonton sinetron. Bisa jadi dia mengira cinta bisa menyelesaikan perkara sukar dan memecah tebing jadi pasir. Mereka menikah dan ibuku meninggalkan Jakarta. Dia memilih menetap di desa kelahiran ayahku.

Siapa yang paling rugi atas keputusan seorang lelaki pengangguran hobi foya-foya tanpa rencana masa depan dan seorang wanita yang tidak berhati-hati dalam memilih pasangan?

Iya, benar! Aku!

Ibuku meradang setiap kali beras habis. Jelas aku yang kena amuk. Bila tidak bisa membayar tagihan listrik, ibuku memarahiku tanpa ampun. Aku menolak ke sekolah karena di sana semua anak menggangguku. Ibuku tidak mau tahu. Dia akan memukul telapak kakiku dan berteriak dengan suara histeris, “Kenapa kamu nggak bisa jadi anak berbakti?!” Pukulan yang terus dihantamkan ke kedua kakiku terasa sangat pedih. Terlebih bagi hati seorang anak kecil yang tidak memiliki siapa pun untuk melindunginya dari kejahatan.

Kekerasan yang orangtua lampiaskan kepada anaknya akan tetap membekas bahkan ketika si anak dewasa. Melekat seperti lem super. Luka itu akan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak si anak. Mirisnya orangtua yang menikah tanpa belajar mengenai ilmu berumah tangga dan merawat anak, mereka ini, ya jelas tidak mau tahu.

“Kan semua orang juga gitu.” Itulah yang ibuku katakan kepadaku ketika aku menolak opininya mengenai cara mendidik anak melalui bentakan dan pukulan.

Tidak semua anak beruntung punya orangtua sehat dan waras. Anak tidak bisa memilih, tapi orangtua bisa belajar mengendalikan diri. Keputusan berada di genggaman orangtua. Menyirami anak dengan kebaikan dan sayang atau memberinya racun yang membunuh secara perlahan.

Barangkali karena itulah aku merasa kasihan terhadap Tasya. Bahkan sebelum tersetrum pun aku menganggap Tasya sebagai salah satu bagian dariku.

Bedanya ayahnya tidak akan membentak Tasya seperti ayahku, sih.

Haaaah aku ingin jadi gelembung sabun dan lenyap saja deh.

Capek.

***

Tasya dan Miss Kunti (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang