Tasya, Danu, dan akuuuuuu si mantan hantu. Kami bertiga sibuk menyikat gigi di depan cermin. Maksudku, cermin yang ada di kamar mandi. Hasil didikan Danu, sih. Barangkali salah satu cara agar Tasya tidak menolak diajak melakukan kebiasaan baik. Artinya, aku pasti terseret. Mau tidak mau, sebagai penggembira sudah sewajarnya kusenangkan mereka.
“Apa yang sedang kalian lakukan?”
Minus Abimayu. Dia menatap kami dengan sorot mata tidak percaya. Alis menukik tajam, hidung mengerut, dan tangan kini mencengkeram kenop pintu.
“Hihat hihi,” jawab Tasya. Hanya dia seorang yang berdiri di atas kursi kayu. Biasaaaaa deh. Tinggi tidak mencukupi.
“Sikat gigi, Tasya,” Danu membantu menerjemahkan ucapan Tasya yang masih sibuk menggosok gigi dengan segenap jiwa dan raga. “Kunti, Manis. Jangan lupa gosok bagian belakang gigi, ya.”
“Hahar wewet,” sahutku sembari memberinya perengutan.
“Dasar cerewet,” lagi-lagi Danu menerjemahkan omongan orang lain kepada Abimayu. Berani taruhan deh, si kakak tidak peduli. “Kak, ayo gosok gigi bersama. Ini merupakan rutinitas kami.”
Bisa saja Abimayu berdiri di sampingku atau Danu, tapi lelaki itu justru memilih berbalik dan mengabaikan kami.
“Haha, harah?”
“Papamu nggak marah, Tasya.” Hebat. Danu bisa tahu semua bahasa termasuk bahasa orang sikat gigi! “Ayo kumur. Jangan telan busanya sekalipun rasa stroberi. Kunti, kamu nggak boleh jilat pasta gigi. Nanti kamu keracunan.”
“...” Kenapa bawa-bawa aku, sih?
Tasya menerima gelas berisi air. Dia lekas berkumur dan memastikan giginya bersih dari busa maupun pasta gigi.
“Ayo,” bujuk Danu, “temui papamu dan ingatkan dia agar menggosok gigi.”
“Oke!” Tasya membuat tanda oke dengan ibu jari dan jari telunjuk. Tidak lupa ia berikan senyum ceria. Terlalu ceria. Setelahnya dia melesat meninggalkan kamar mandi dan, kutebak, memburu papanya seperti orang utang yang berusaha menjebak manusia berbudi luhur yang tidak tegaan.
“Aku serius,” Danu memberiku pelototan nan menggemaskan, “jangan telan busa pasta gigi.”
Niatku menyemburkan busanya ke wajah Danu, sih. Cerewet!
***
“Papa bisa nyanyi?”
“Papa mau makan cokelat, enggak?”
“Pa! Papa! Pa, aku dan Mbak Kun bisa nari dugong!”
“Pa, Om Danu bilang kita bisa lihat peri kalau matanya diolesi pasta daun ketumbar.”
Satu, Abimayu tidak bisa menyanyi. Suaranya jelek! Tuli nada, tergesa-gesa seolah ingin menyeberang ke laut sana, dan sama sekali tidak tahu banyak mengenai lagu anak-anak.
Dua, Abimayu tidak suka cokelat. Dia menolak, dengan tegas, kue yang ditawarkan putrinya. Padahal tinggal cicip sesuap doang. Beres.
Tiga, aku tidak tahu yang dimaksud Tasya dengan tari dugong. Dugong yang mana? Dugong makhluk mamalia yang suka makan rumput laut? Dugong tokoh fiktif penghuni gua karang dan suka menjahati putri duyung? Yang mana?
Empat, tidak ada manusia bisa lihat peri gara-gara kelopak matanya diolesi pasta daun apa pun. Kujamin mereka akan pedih kalau cairan kena mata. Semua orang yang bisa melihat makhluk halus kalau tidak lari terbirit-birit ya diam ketakutan. Lagi pula, apa gunanya bisa lihat bangsa lelembut? Bukankah lebih enak bisa melihat dan menyentuh uang? Aku suka menyentuh uang!
“Kak, kamu salah,” Danu mengoreksi. “Seharusnya goyang ke kanan.”
“Aku sudah mengikuti arahan!” protes Abimayu, tidak terima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasya dan Miss Kunti (Tamat)
FantasíaSebagai hantu merdeka yang tidak terbebani perbudakan oligarpus, menikmati waktu sepuasnya merupakan sebuah kesenangan tidak tertahankan. Namun, itu semua berubah begitu aku bertemu dengan bocah sok tahu yang hobi merecoki waktu santaiku. Dia, si bo...