22

680 139 10
                                    

Aku merasa sangat ringan. Seolah sedang melayang di antara kumpulan awan empuk. Terombang-ambing. Dibuai embusan angin musim panas. Beginikah akhirnya? Mati?

“Kamu romantis, ya?”

Lekas kubuka kelopak mata. Sontak cahaya membanjir, membutakan, dan aku kesulitan beradaptasi selama beberapa saat.

“Memang sedikit berlebihan, sih. Well nggak perlu cemas. Semua akan baik-baik saja, Sayang.”

Kuangkat tangan kanan, berusaha menaungi mata. Awalnya semua yang kulihat hanya samar-samar belaka, tidak jelas. Namun, secara perlahan aku bisa mendapatkan pengelihatanku kembali.

“Halo,” sapa seorang wanita bergaun putih. Tunggu dulu, ya. Dia tidak mengenakan gaun putih kebangsaan lelembut. Tidak! Yang kumaksud sebagai gaun putih ialah, jenis pakaian yang dikenakan oleh artis dalam film. Gaun musim panas selutut.

Tidak ada satu kata pun yang pantas menggambarkan dirinya selain satu: cantik. Oh salah, bukan hanya cantik belaka. Menawan, indah, sebutkan apa pun kata dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing yang menunjukkan mengenai keindahan paras perempuan sekaligus aura elegannya.

Ya, dia seperti itu. Suara yang dimiliki olehnya pun sangat merdu dan bila kusamakan dengan sebuah rasa yang bisa dicecap lidah: manis.

“Eh? Kok sepertinya aku kenal, ya?” ujarku sembari berusaha menajamkan pikiran. Kuperas otak, kalau masih punya, agar mendapatkan informasi yang kubutuhkan. Setelah memilah, memaksa sirkuit memori bagai mandor kikir, barulah kutemukan identitas orang tersebut. “Mamanya Tasya!”

Tidak salah lagi. Aku pernah beberapa kali, walau tidak jelas, melihat foto wanita itu di rumah. Sekarang setelah melihat oknum bersangkutan secara langsung, barulah kusadari alasan Abimayu sampai patah hati begitu.

“Ya,” dia membenarkan, “mamanya Tasya.”

Ada bermacam tanya muncul. Aku ingat baru saja kena tikam. Jemariku memudar. Lantas tubuhku berubah jadi serpihan cahaya. Kenapa aku bisa bertemu....

“Sebaiknya kamu duduk,” katanya menyarankan. “Terlalu lama rebahan tidak baik, ‘kan?”

“Aku hantu lho. Nggak masalah rebahan lama-lama.”

“Sebenarnya kamu belum, oh kembali, jadi hantu.”

Kuduga pembicaraan akan berlangsung dalam waktu lama. Bicara sambil rebahan memang enak, tapi melihat lawan bicaraku yang luar biasa cantik membuatku gagal fokus. Iya, tidak ada hubungannya. Jadi, lebih baik aku duduk daripada kena pusing.

“Nah begitu jauh lebih baik.”

“Oke,” kataku sembari menghadiahinya acungan dua jari. “Aku mati atau akan mati atau akan jadi hantu atau lenyap? Tolong jawab.”

“Tergantung keputusanmu, sih.”

Lama-lama aku gigit mamanya Tasya. Dia dan Danu punya hobi menaikkan tekanan darahku. Bagus! Bila berkawan dengan orang ajaib, lama-lama ketularan bakatnya juga.

“Nah apa kamu tertarik jadi manusia?”

Terus harus bayar pajak? “Ogah!”

Ekspresi di wajah mamanya Tasya perlahan menyurut. Dia memberiku senyum pedih seolah aku bertanggung jawab atas perubahan iklim di bumi.

“Padahal nggak semua roh bisa diberi kesempatan kedua lho.”

“Masalahnya,” kataku menjelaskan, “aku nggak sanggup bayar pajak. Bukan karena nggak mau, melainkan tidak adanya identitas. Sebagai manusia pasti diwajibkan bekerja karena uang tidak turun dari langit, kecuali ada jutawan kurang kerjaan yang membagikan rupiah secara cuma-cuma.”

Tasya dan Miss Kunti (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang