17

449 117 8
                                    

Tasya bersemangat menyambut kehadiran papanya. Aku sampai harus bersembunyi di atas lemari agar tidak dicolek olehnya. Maklum. Tidak tertarik turut serta mempersiapkan penyambutan.

“Kok kamu nggak pergi ke bandara, sih?”

“Kan aku pengin nemenin kamu, Sayang.”

“Danu, nggak lucu.”

“Kamu nggak pengin turun dari lemari Tasya?”

“Enggak.”

Begitulah. Tasya dan Danu mulai merancang rencana besar. Sebut saja RMPB, Rencana Membuat Papa Bahagia.

Mereka memang kelebihan vitamin D. Pasti itu yang menyebabkan kedua manusia itu bergerak setangkas lalat saat mengincar buah ranum. Set set set seeeeet!

Di atas lemari, oh indahnya, aku mengunyah keripik kentang. Sesekali mengintip Danu yang sibuk mengetik sesuatu di laptop. Tasya masih menari bahagia tanpa memedulikan nyanyian cicak di dinding.

“Danu, kamu sedang apa?”

“Kerja,” balasnya tanpa satu kali pun menengok ke arahku.

“Main saham, ya?”

“Kuntilanak nggak perlu kepo, ya.”

Setelah beberapa menit yang rasanya seabad, Danu mematikan laptop dan meletakkannya di nakas. Dia merengut saat mengetahui ada beberapa bungkus makanan ringan di atas lemari. Bahkan dia memicingkan mata ketika aku membuka bungkus lainnya.

“Lebih enak masakanku daripada makanan ringan tinggi garam,” gerutunya sambil lalu. Dia menghilang begitu saja, pergi, dan kembali dengan semangkuk buah. “Tasya, mau nolongin Om, ‘kan?”

Tasya berhenti menari beruang kecil dalam bahasa Korea. Kali ini dia mengangguk, membuat rambutnya berayun mengikuti gerakan kepala.

“Ayo makan buah dan seret Mbak Kun kesayanganmu,” perintahnya seperti seorang raja berkuasa.

“Hiiiiiih maksa,” protesku sembari mendekap bungkus terakhir. “Aku beli sendiri tahu. Di warung.”

“Kamu pakai uang pemberianku, ‘kan?”

“...” Iya, sih. Aku pakai uang Danu.

“Mbak Kun, ayoooooo!”

Tasya memberiku tatapan penuh harap. Barangkali dia ingin aku memetik bintang di langit dan menyulam setiap bintang di selimut. Sebuah benda yang akan membuatnya terjaga dari mimpi buruk.

“Enak,” puji Tasya yang telah mencicipi buah-buah. Ia kini duduk bersila di lantai. “Mbak Kun, cepat turun!”

Alih-alih mengikuti kemauan Tasya, aku justru meringkuk seperti seekor kucing. “Kalian nggak melanjutkan persiapan penyambutan yang mulia kaisar adi kuasa atas kerajaan langit dan bumi?”

“Kamu ngomongin siapa?”

“Kakakmu dong,” ujarku sembari menguap. Hmmm tidur di atas lemari bukan ide bagus. Aku bisa jatuh. Kuputuskan turun, menuju ranjang, dan membuat diriku menyerupai kepompong. “Pukul berapa dia datang?”

“Tengah malam,” Danu menjawab. Dia menyeka mulut Tasya menggunakan tisu. Caranya membersihkan wajah keponakannya amatlah lembut. Bahkan dia sempat tertawa dan mengomentari Tasya.

Danu lemah lembut. Apa kakak Danu akan selembut ini?

***

Aku koreksi pernyataanku mengenai saudara Danu.

Sekali lagi, koreksi besar-besaran.

“Kamu nggak bisa bawa anak orang ke rumah, Danu!”

Kakaknya Danu datang di tengah malam. Tasya sudah tidur nyenyak di kamar. Aku yang kebetulan tertangkap basah hendak keluar tengah malam, menengok kuntilanak di pohon tetangga, pun bertemu dengan kakak Danu.

Tasya dan Miss Kunti (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang