1

749 157 9
                                    

Pocong yang menghuni pohon pepaya akhir-akhir ini punya hobi baru. Dia senang mengintip cewek-cewek yang indekos di rumah Pak RT. Maksudku, bukan rumah Pak RT. Iya, bukan. Indekos yang dibangun Pak RT. Bukan rumahnya, melainkan indekos. Artinya, rumah Pak RT tidak digunakan ataupun disewakan kepada siapa pun. Bisa marah tujuh tahun Bu RT kalau rumah yang ia tempati dijadikan sebagai indekos.

Kembali pada topik pocong pohon pepaya. (Kusebut saja begitu agar mudah membedakan pocong ini dan itu.) Berani taruhan pocong pohon pepaya itu dulunya cowok genit yang ketagihan film biru, makanya setelah jadi setan pun sifat hidung belang makin menjadi.

Sebagai kuntilanak berbudaya dan tahu etika, aku kadang meluangkan waktu memberi peringatan kepada beberapa cewek di indekos milik Pak RT. Caranya? Kutaburi kelopak bunga di depan kamar mandi umum agar mereka, para cewek, mandi menggunakan kamar mandi pribadi yang ada di kamar masing-masing. Biasanya itu cukup ampuh membuat mereka kabur seribu langkah. “Iiiiih kembang! Pasti ada yang ingin melet aku, nih!” Tidak ada yang ingin menyihir mata cewek indekos Pak RT. Bayar ahli sihir hitam itu mahal.

Oke, abaikan perkara bayar ahli sihir sekelas Merlin. Pocong pohon pepaya itu tidak bisa masuk ke kamar cewek. Kenapa? Karena ada hantu nenek-nenek galak. Dia menetap di mana pun yang ia sukai. Selama itu masih menjadi area indekos, si nenek akan muncul tanpa pertanda.

Nah pocong pohon pepaya dan si nenek tidak akur. Mereka memiliki hubungan buruk. Kadang di malam hari akan terjadi pertempuran sengit. Orang akan mendengar gedebak-gedebuk padahal tidak ada benda jatuh maupun sekelompok murid SMA latihan gerak jalan. Iya, itu suara yang berasal dari pertempuran antara si nenek dan pocong pohon pepaya.

Aku, sih, pengecualian. Si nenek mengizinkanku bertualang sesuka hati. Kadang bila beruntung aku bisa ikut nonton drama Korea di salah satu kamar yang kumasuki. Bila tidak beruntung? Aku kena sabet sapu lidi. Itu, sih, bukan faktor kesengajaan. Dasar akunya saja yang kurang beruntung. Melayang ketika ada orang yang sibuk membersihkan kasur. Kena tepat di pantat. Tidak sakit, tapi harga diriku kena diskon.

“Kamu nggak pengin tinggal di sini, Cu?” tanya si nenek. Dia menganggapku sebagai cucu. Panggilan sayang darinya untukku ialah, Cu. Singkatan dari cucu. Di antara sekian kuntilanak kelas bawah, hanya aku saja yang mendapat pengakuan dari nenek yang kini kunobatkan sebagai Eyang.

“Nggak,” balasku sembari berusaha melayang dengan anggun di atas meja tamu. Eyang tidak tertarik melayang. Dia lebih suka jalan dengan langkah terseret. Ingin tahu bunyi langkah kaki si Eyang? Suaranya persis orang tengah menyapu. Srek srek srek. Begitu.

“Di sini saja,” kata Eyang yang barangkali lebih tertarik jadi model kebaya. Dia berdiri dengan gagah berani walau arah rintangan setiap saat datang ‘tuk menguji. Hei, Nenek Sakti....

Aku mengibaskan tanganku. “Nggak ah. Takut kena teror Om Wo.”

Om Wo merupakan genderuwo penunggu pohon mangga milik Pak RT. Heran deh. Setan berkerumun di area kekuasaan Pak RT. Pasti dia memiliki magnet untuk lelembut. Kasihan. Kenapa dia tidak buka usaha kedua? Indekos lelembut berbagai jenis? Bayarnya pakai daun dan ranting, sih. Setan tidak butuh uang. Manusialah yang perlu duit.

“Dia nggak bakalan berani adu ilmu denganku,” Eyang sesumbar. “Kamu nggak usah takut, ya.”

“Masalahnya aku janji dengan seseorang.”

Bibir Eyang pun mengerut seolah baru saja mencium aroma kentut beracun. Dia mengibaskan tangan di depan hidung, berusaha mengusir sesuatu yang mengganggunya. “Ngapain kamu berteman dengan manusia?”

“Kasihan. Anaknya nggak punya teman. Jadi, aku mengajukan diri sebagai teman untuk sementara.”

Kuamati langit yang kini berwarna jingga. Sebentar lagi matahari tenggelam.

Tasya dan Miss Kunti (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang