15

474 118 7
                                    

Hari kesekian menemani Danu mengantar Tasya ke sekolah. Kami terlihat seperti keluarga bahagia. Ayah, ibu, dan seorang putri menggemaskan. Si ibu yang selalu menyodorkan putrinya kepada Danu masih mengabaikanku. Dia bahkan secara terang-terangan menjelaskan keuntungan menikahi anaknya daripada aku.

Tidak masalah. Aku sudah biasa dijadikan samsak kehidupan. Meski tidak mau, terpaksa terbiasa dengan lelucon dunia nyata. Tidak ada pilihan selain beradaptasi atau jadi gila.

Pulang sekolah, menjemput Tasya, si ibu makin beringas. Oh tenang saja. Dia tidak berubah jadi kurcaci hidung bengkok penculik anak. Tidak begitu kok. Dia hanya semakin membuatku sadar bahwa jadi manusia memang berat!

“Ayolah,” bujuk si ibu dengan rayuan maut, “coba kenalan dengan anaknya Tante. Ajak Tasya sekalian biar makin akrab.”

Danu hendak mengatakan sesuatu, tapi Tasya telanjur bicara, “Nenek, Om Danu udah ada yang punya.” Kemudian dia menunjuk diri sendiri, lalu aku.

“...” Tasya baik hati sekali, ya? Dia melempar bola panas ke tanganku. Notabene aku lebih tertarik jadi penggembira daripada pemain inti!

“Nggak boleh ada yang nyolek Om,” lanjut Tasya dengan suaranya yang menggemaskan. Gemas banget ingin kucubit ginjalku sendiri! “Papa bilang nggak. Nggak! Enggak!”

Si ibu itu pun berubah seratus delapan puluh derajat. Kupikir akan jadi monster kepiting, ternyata tidak. Dia hanya seperti bingung hendak merespons Tasya atau menggali lubang dan menyelamatkan sisa-sisa harga diri (kalau dia punya).

Pada akhirnya ibu itu tidak mengatakan apa pun. Dia kabur. Barangkali memutuskan tidak akan mengincar Danu.

“Tasya....” Danu berjongkok, memberi Tasya senyum mafhum. “Nggak boleh begitu.”

Alih-alih menyesal, Tasya justru berkacak pinggang. “Om, harus tegas. Papa bilang nggak boleh ragu. Nanti menyesal.”

Aku yakin papanya Tasya memberi nasihat dengan maksud berbeda deh.

“Om tahu.” Danu membelai kepala Tasya. “Om takut kamu disakiti orang asing gara-gara terlalu jujur. Lain kali kamu hati-hati, ya. Nggak semua orang suka mendengar kejujuran. Contoh, coba kamu bilang Mbak Kun jadi tantemu. Pasti dia ogah.”

“Yeeeee maksa!” selorohku menahan dorongan terdalam ingin mengacak-acak rambut Danu.

Tasya cemberut. Aku sempat cemas bibirnya akan makin berkerut. “Aku senang Mbak Kun bersama kita. Jadi, aku tahu rasanya ditemani ke sekolah oleh Mama.”

Duh hatiku! Posisi mamanya Tasya tidak akan bisa digantikan oleh siapa pun, termasuk diriku. Dia seperti sesuatu yang amat penting dalam diri Tasya. Aku tahu anak itu berusaha mengisi kekosongan dalam hidupnya melalui diriku. Namun, sampai kapan? Tidak ada jaminan keadaanku, sebagai manusia, akan bertahan selamanya. Bisa saja esok tubuhku memudar dan aku kembali menjadi bagian dari alam hantu.

“Tasya, Mbak Kun nggak bisa dipaksa begitu,” Danu memberi petuah bijak. (Tumben!) “Apa kamu nggak takut nene-maksud Om, tante yang tadi datang mengganggu Mbak Kun?”

Kali ini Tasya menelengkan kepala, mengamati Danu dengan tatapan tidak percaya seolah sedang memberi nilai E minus ke pamannya ini. “Mbak Kun pasti punya teman setan. Biarin temannya Mbak Kun yang menyerang.”

Aku lagi. Aku lagi. Aku lagi.

Padahal sedari tadi diriku hanya diam bagai pohon beringin di kuburan, tetapi mereka masih saja berusaha mengaitkan diriku dalam topik pembicaraan apa pun.

“Tasya,” panggilku dengan nada merayu, “bagaimana kalau kamu telepon papamu? Siapa tahu dia mau pulang.”

Danu terperangah. Ya, aku paham. Paham! Papanya Tasya berusaha lari dari masa lalu. Tapi, sampai kapan? Dia harus segera memutus rantai masa lalu dan menghadapi tanggung jawab terhadap buah hatinya. Wajib!

“Papa mau?” tanya Tasya, penuh harap.

Aku mengangguk. “Asal kamu bilang, ‘Pa, aku kangen. Ayo pulang. Janji deh nggak akan nakal. Nanti kutemani ke taman.’ Begitu. Pasti hatinya akan meleleh dan mulai mempertimbangkan mengajakmu ke taman bermain.”

Harus ada yang memberi semangat baru kepada keluarga ini! Huuuuh aku gatal ingin menghajar papanya Tasya. Enak saja kabur dari derita melalui kerja. Memangnya yang menderita cuma dia doang?

“Mbak Kun, I love youuuuu!” teriak Tasya sembari memeluk kakiku.

Hehehe bisa saja.

***

Sesuai saranku, Tasya menghubungi papanya.

Danu membuat sambungan panggilan. Jam menunjukkan pukul delapan malam. Sebentar lagi sinetron kesukaanku akan tayang-eh, bukan begitu!

Tasya duduk di pangkuan Danu. Tampak manis dengan gaun merah jambu bertotol. Aku memilih duduk di lantai, tengkurap tidak seksi karena sibuk membaca komik mengenai hantu yang berusaha menguasai dunia.

“Papaaaa!”

Samar-samar kudengar suara pria dari ponsel. Jadi, mereka tidak melakukan panggilan suara saja. Tidak tanggung-tanggung, video call! Kuota sultan, nih. Aku tahu mereka melakukan video call karena ponselnya Danu tidak ditempelkan di telinga Tasya.

“Tasya, kamu nggak nakal, ‘kan?”

Wohoooo suara papanya Tasya seksi. Pasti dia punya penggemar berjibun!

“Aku nggak nakal,” balas Tasya, sengit. “Mbak Kun yang nakal! Dia hobi ngasih cerita sedih.”

Aku langsung mendongak, menatap si bocah. Bagaimana bisa aku terseret? Lekas kuberi kode melalui kedipan mata kepada Danu. Artinya: fokus! Cepat arahkan Tasya ke rencana awal!

“Eh Tasya,” Danu menyela, “katanya mau ngomong kangen ke papamu.”

Tasya menepuk dahi. “Lupa!” Kemudian dia berdeham. Sok dewasa sekali dia. “Papa, aku kangen! Tolong pulang, ya? Ayo kita main ke taman.”

Hening.

Hening.

Tolong seseorang pecahkan saja gelasnya biar gaduh!

“Tasya....”

“Papa,” serobot Tasya dengan semangat membara, “ayo pulang. Pulang ke rumah. Aku kangen, kangen, kangen, kangen, kangeeeeeeen!”

“Di sana ada Om, ‘kan?”

“Tapi, aku pengin bersama Papa!”

Danu pun mulai buka suara, “Kak, ayo pulang. Apa nggak pengin liburan sebentar? Lagi pula, Tasya butuh kamu.”

“Nggak bisa, Nu.”

Kupukul sajalah!

Aku membanting komik, bangkit dari zona nyaman nan indah, dan berderap menyongsong perang. Kuusahakan berdesakan dengan Tasya. Ooooh bukan duduk di pangkuan Danu, melainkan ikut nongol dalam percakapan.

“Halo,” sapaku dengan suara cempereng, “kalau Anda nggak pulang, Tasya nanti digondol Nenek. Siapa dia? Dia penunggu indekos Pak RT. Jadi, Anda sebaiknya pulang atau saya suruh pocong mesum yang pikirannya XXX meluncur ke sana. Saya pastikan pocongnya cewek.”

Danu diam. Tasya diam. Lawan bicaraku semakin bungkam.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga....

“Siapa kamu?” Papanya Tasya akhirnya melontarkan pertanyaan yang tepat di saat tidak tepat.

“Kuntilanak penunggu lemari Tasya,” jawabku dengan jujur.

“Bukan,” Danu mengoreksi, “dia calon istriku. Iya istri! Jadi, Kak! Ayo pulang.”

Istri dari mananya?! “Oh Papa Tasya,” aku menambahkan, “putrimu yang kreatif dan inovatif ini sangat sangat sangat merindukanmu. Cepat pulang agar dia nggak perlu merasa....” Kututup telinga Tasya menggunakan tanganku. “Agar dia tidak merasa terbuang,” bisikku lirih, sengaja mendekatkan wajahku ke ponsel. “Semua anak di dunia ini berharap bisa disayangi oleh orangtua mereka. Tolong jangan biarkan Tasya merasa tidak diinginkan oleh papanya.”

Lelaki yang ada di layar pun membisu. Kupikir dia akan menyudahi pembicaraan, tapi ternyata....

“Tasya, Papa akan berusaha pulang secepat mungkin.”

***
Selesai ditulis pada 1 Juli 2024.

***
Hidung gatal. Aaaaaah kena pilek lagi! :”(

Tasya dan Miss Kunti (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang