5

589 127 3
                                    

Tidur jauh lebih mengerikan daripada terjaga!

Menurutku, ya! Sebagai kuntilanak, yang bijak lagi cerdas, tidak perlu mengalami yang disebut sebagai 3L. Lelah, letih, dan lesu. Apa itu sakit pinggang? Aku kuat melayang dari satu atap ke atap lain bagai kucing garong memburu mangsa. Eh, tunggu dulu. Ini semua tidak ada hubungannya dengan terjaga maupun tidur, ya? Lupa.

Maksudkuuuuuuu! Astaga repot sekali jadi manusia. Tubuh manusia itu sebenarnya fana sekali. Butuh asupan, istirahat, dan tidak boleh dipaksa di luar kemampuan fisik maupun mental. Ibarat komputer, bisa hangus CPU-nya.

Idih tidur? Aku hanya tidur-tidur ayam. Kadang memejamkan mata, beberapa menit berikutnya bangun gara-gara mendengar cekcok antara cicak A dan Cicak B. Dua makhluk laknat itu berebut seekor kecoak gendut. Heran. Di rumah orang kaya ternyata serangga titisan iblis itu masih bisa menyusup, ya?

Begitu pagi menjelang, tubuhku rasanya remuk. Aku kesulitan turun dari ranjang. Ingin melayang, kembali nongkrong di pohon asam atau beringin yang rindang. Namun, tubuh manusia ini akan mengundang perhatian. Bisa-bisa aku ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan mengganggu keamanan dan kenyamanan masyarakat.

Tasya jauh lebih baik daripada diriku. Dia pamer seragam TK kebanggaannya. Sesekali dia minta dibantu olehku agar memita rambutnya. Percobaan pertama, hasil kuciran rambut tidak simetris. Satu ke timur, yang lain ingin mengembara ke barat. Gagal! Percobaan kedua, makin kacau.

“Mbak Kun, nggak bagus!” rengek Tasya yang duduk di depan meja rias. Bibir mencebik, kening berkerut, asam sekali. “Nanti Bu Guru menertawakanku!”

“Mohon maaf, Nona Muda,” balasku sembari mengacungkan sisir di depan cermin. “Aku bukan lulusan tata rias. Mana bisa?!”

“Om Danu bisa!”

“Ya minta dia saja!” sungutku dengan segala letupan emosi. “Beres.”

Yang terjadi, terjadilah. Tasya kabur, meneriakkan nama Danu, dan menyeret pria itu masuk ke kamar.

“Tasya, sebentar. Om belum selesai masak.”

“Rambutku, Om!”

Danu menghela napas. Panjang sekali seolah dia sedang memikul bumi seperti Atlas. “Oke.”

Kali ini aku bersedia menyingkir, membiarkan Danu menyelesaikan tugas.

Mereka berdua bercakap mengenai ini dan itu. Danu tidak keberatan menjawab apa pun yang Tasya tanyakan. Kadang mereka tertawa.

Aku? Tentu saja aku menyingkir ke sudut ruangan. Duduk, menekuk kaki hingga lutut menyentuh dagu, dan mulai mempertanyakan eksistensiku di dunia.

“Ayo sarapan,” ajak Danu yang kali ini berjongkok di depanku.

Tasya sudah terlebih dulu keluar dari kamar. Kini hanya ada kami berdua saja. Aku dan Danu.

“Ini aneh banget,” komentarku dengan nada sinis. “Kamu terlalu tenang. Sebagai salah satu manusia yang belum pernah mengecap rasa kematian, kamu terlalu tenang. Bagaimana bisa kamu menerima keberadaan mantan kuntilanak di rumahmu? Bagaimana bila aku mengundang kawanan pocong agar menginvasi kediamanmu?”

“Aku nggak ngerti, sih. Kamu kalau banyak pikiran jadi ngomong kreatif begini, ya?”

Ingin kutimpuk Danu. “Beri kelonggaran bagi korban perpindahan dimensi ini.”

Danu terbahak hingga tubuh bergetar. Andai saja koin emas yang keluar dari tubuhnya, maka akan kukumpulkan seluruh koin emas tersebut dari Danu dan melemparnya ke sembarang tempat sambil berteriak, “Selamat jadi kaya. Kaya! Hahahaha selamat!”

Tasya dan Miss Kunti (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang