Sejujurnya kehidupan Tasya jauh lebih baik apabila papanya bersedia hadir. Bukan sekadar memenuhi kebutuhan secara finansial belaka, melainkan batin. Sekalipun Tasya, selama berada di hadapanku, tidak pernah mengeluh satu kali pun mengenai kekosongan kehadiran papanya ... ya, tapi pasti setidaknya walau sekali dia pernah merasa rindu, ‘kan?
Mengapa anak kecil harus dipaksa menjadi dewasa oleh keadaan? Bagiku itu sungguh menyakitkan. Jangan nakal, jangan cengeng, jangan merepotkan orangtua, dan blablabla.
Aku merasa terkoyak karena itu mengingatkanku pada kenangan tidak menyenangkan.
Jadi anak kecil, apalagi anak kecil yang hidup di keluarga miskin, tidaklah menyenangkan.
Bila aku ingin makan lauk lain, maka orangtuaku akan berkata, “Kita ini miskin, Nak. Kamu nggak boleh minta makan ayam. Nikmati saja yang ada di piringmu.” Yang ada di piringku hanya nasi dan seiris kecil tahu goreng.
Saat aku ingin kursus matematika atau komputer, orangtuaku bicara dengan nada sengit, “Kita ini miskin! Nggak usah minta les. Belajar yang benar di sekolah. Masa kamu nggak bisa pengertian ke orangtua?!” Masalahnya guru yang mengajariku sangat tidak kompeten dan lebih mengutamakan marah-marah di atas transfer ilmu ke pelajar. Susah!
Lalu, ketika aku kena tifus parah dan butuh ke dokter.... “Ini pasti karena kamu malas. Kurang gerak! Olahraga sana biar keringetan!” Ha ha ha. Haloooo aku berangkat ke sekolah setiap hari dengan cara mengayuh sepeda. Itu artinya setiap hari aku berkeringat dan tidak perlu tambahan olahraga lari dari beban hidup. Bayangkan saja pukul lima pagi hari aku disuruh ke luar dari rumah. Ngapain? Iya, lari pagi dalam keadaan menahan sakit perut dan demam akibat tifus.
Nilai pelajaranku di bawah standar. Orangtuaku hobi marah-marah menuntutku dapat nilai bagus, padahal fasilitas pendukung tidak kudapatkan sama sekali. Anak lain ke sekolah dapat uang saku, sementara aku hanya dibekali sebotol air putih saja. Itu pun masih diberi wejangan dari orangtua maupun orang dewasa lainnya:
“Jangan bikin repot orangtuamu, ya?”
“Kamu harus membanggakan orangtua.”
“Sekolah yang benar agar dapat kerjaan bagus. Nanti kamu bangunkan rumah dan jangan lupa balas semua kebaikan orangtuamu.”
Kebaikan? Maksudnya adu mulut antara ibu dan ayahku setiap kali aku hendak berangkat sekolah maupun di rumah? Ayahku yang lebih memilih beli rokok daripada membayar LKS? Atau, ibuku yang sering teriak-teriak gara-gara aku tidak sengaja memecahkan piring?
Neraka!
Kadang orang dewasa tidak mau tahu bahwa tindakan mereka telah membunuh mimpi yang ada pada diri anak-anak.
***
“Mbak Kun, gambarin kembang!”
Sore yang harusnya kunikmati dengan cara meringkuk di atas lemari pun bubar jalan. Tasya merengek minta ditemani menggambar.
Kuberi tahu, ya. Koleksi perlengkapan gambar milik Tasya luar biasa keren. Ada pensil warna, krayon, spidol, bahkan cat air aneka warna. Dia sibuk mewarnai gambar panda, yang menurutku lebih mirip kucing gembul. Sesekali dia menyenandungkan lagu aneh yang kira-kira begini liriknya.
Ada tupai ompong melompong.
Naik ke pohon kopong.
Tupainya malah bengong.
Makan kedondong!“...” Lagu apaan, sih?!
Lekas kuabaikan senandung Tasya. Aku berusaha menggambar bunga matahari sesuai permintaan si bocah.
“Nih, puas?” Kuserahkan kertas yang telah kugambari deretan bunga matahari. Semoga dengan begini Tasya akan berhenti menyanyikan lagu aneh!
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasya dan Miss Kunti (Tamat)
FantasiaSebagai hantu merdeka yang tidak terbebani perbudakan oligarpus, menikmati waktu sepuasnya merupakan sebuah kesenangan tidak tertahankan. Namun, itu semua berubah begitu aku bertemu dengan bocah sok tahu yang hobi merecoki waktu santaiku. Dia, si bo...