13

484 115 6
                                    

“Mbak Kun, ayo main!”

Sebagai hantu aku tidak perlu merasa lelah. Aku tinggal melayang, menembus dinding, atau rebahan di atap tanpa perlu cemas jatuh.

Manusia sungguh suram.

Suram sekali.

Minggu. Libur. Tasya mengajak Danu dan itu artinya menyertku dari zona nyaman. Dia ngotot ingin ditemani oleh kami main di taman. Masalanya....

Satu, Minggu. Ada banyak orang yang juga meluangkan wantu pada hari tersebut. Ramai. Hukum kekalan kemalasanku: semakin ramai, semakin malas.

Dua, berisik. Ini tidak ada hubungannya dengan “ah aku, kan, introver  jadi pemalu”. Tidak, ya. Tidak ada hubungan antara introver dan pemalu. Itu dua hal berbeda. Introver belum tentu seorang pemalu. Mereka hanya lebih suka menghabiskan waktu dengan diri sendiri. Sekalipun bergabung dengan keramaian, mereka bisa menyesuaikan diri. Bila bertemu dengan orang yang cocok, introver bisa sangat ceriwis dan bersemangat. Hanya saja setelahnya mereka butuh waktu menyendiri untuk mengembalikan energi. Jadi, pemalu tidak sama dengan introver.

Itu dia. Aku jenis introver cenderung ingin menyepi di kamar saja!

“Mbak Kun!”

Teriakan Tasya berhasil menarikku dari zona “ingin mempertanyakan eksistensi dunia dan penciptaannya” ke medan realitas. Tasya sedang berdiri di depan ayunan. Dia mengenakan gaun kuning cerah dengan hiasan bunga mungil di bagian rok. Pipinya menggembung, bibir cemberut, dan mata melotot ... oke, menilaiku.

“Mbak Kun, kamu janji mau nemenin aku!”

“Ganti ke Om Danu.” Aku menunjuk Danu yang berdiri di sampingku. “Dia siap sedia 24 jam untukmu, Sayang.”

“Udah biasa!”

“Maksudku,” ucapku sembari berusaha menahan diri agar tidak meledak, “biarkan aku berjaga di pinggir lapangan.”

“Nggak bisa! Udah janji! Mbak Kun, ayo main!”

Bolehkah aku mengumpat?

Oh tentu saja boleh!

“Setan alas!” teriakku dalam hati. Di hati saja karena bisa bahaya kalau didengar oleh khalayak.

Bila aku kena, maka Danu harus ikut!

Kugandeng Danu, memberinya tatapan peringatan, dan mengancam dengan segala lirikan ratu kejahatan.

Danu hanya tertawa dan membiarkanku membimbingnya ke ayunan.

“Nah, Tasya,” ucapku semanis madu, “Om Danu yang dorong. Aku akan duduk di ayunan. Nemenin kamu.”

“Oh begitu?” sindir Danu dengan nada jenaka.

Tasya tidak mengucapkan apa pun. Dia menerima persyaratanku.

Kupikir bocah satu ini akan bertahan selama lima menit main ayunan. Namun, aku salah. Ketika ada anak perempuan seusia Tasya, dia langsung bergabung ke kelompok anak-anak yang kini main pasir! Salah satu di antara mereka bahkan mengusulkan membangun istana.

“Aku merasa dicampakkan,” gerutuku sembari memperhatikan Tasya dari kejauhan.

Kami, aku dan Danu, memilih duduk di bangku kayu. Energi kami tinggal sekian persen dan tampaknya butuh diisi ulang.

“Terima kasih telah hadir dalam hidup Tasya.”

“Danu, omonganmu sedikit meresahkan.”

“Enggak kok. Aku memang bersyukur kamu hadir di sini. Dalam wujud apa pun.”

Aku meraih permen yang ada di dalam saku baju. Permen buah yang diberikan Danu kepadaku. Kubuka sebungkus dan langsung menikmati manisnya melon bercampur mangga.

Tasya dan Miss Kunti (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang