4. Teman Tidur

67.1K 1.9K 65
                                    

Aksara menunggu dengan tenang saat Berta tengah menimang-nimang tawaran darinya, perempuan itu terlihat menggigit bibir bawahnya sekilas tampak gamang menatap uang berwarna merah di dalam koper yang sengaja Aksa bawa ke hadapan Berta.

"Tapi, kayaknya bunda harus ngomong dulu sama Dara." Berta masih menatap lurus uang di koper, Aksa berdecih remeh melihat perempuan mata duitan itu.
"Bunda nggak bisa ngambil keputusan sepihak gini ganteng."

"Lo mau apa enggak duitnya?" tembak Aksa tak mau basa-basi lebih lanjut.

"Gimana ya...." Berta tentu saja sangat tergiur dengan lembaran uang yang bergepok-gepok itu.

"Mau enggak?"

"Mau!" jawab Berta cepat. Matilah dia karena telah menyetujui hal ini tanpa berunding dulu dengan Adara.

Aksa tersenyum miring, lelaki yang mempunyai tatapan tajam itu lantas duduk tegak dan menatap Berta penuh intimidasi. "Tugas lo cuman rayu dia biar setuju. Gue bakal bayar lo mahal setiap bulannya, bayaran buat Dara gue bedain lagi, jadi jangan sampe ada kata dia nggak mau."

"Tapi ini untuk sementara kan?"

Aksa lagi-lagi tersenyum miring, "Sampai gue bosen."

***

"Nggak. Aku nggak mau!"

Berta sudah menyangka hal ini akan terjadi, Adara pasti menolaknya.

"Bunda ngerti sayang," mau tak mau Berta harus membujuk sampai gadis itu mengerti.
"Tapi kamu sangat butuh uang kan? Ini bisa menjadi kesempatan biar kamu segera bebas dari utang piutang."

Adara memalingkan wajah, melihat lalu lalang orang-orang di lorong rumah sakit, pikirannya melanglang buana lalu terbayang kondisi Ayahnya di balik pintu kamar ICU dengan peralatan rumah sakit menempel di tubuhnya.

"Tapi aku nggak mau." Adara masih bersikukuh. "Aku bisa bekerja lagi, tapi tidak harus dengan dia. Masih banyak kan lelaki yang datang ke bunda? Pokoknya aku nggak mau sama dia lagi."

Berta menghela napas, mulai meraih tangan dingin gadis itu, mencoba menenangkan, Berta sangat tahu kalau Adara sedang dalam kondisi kesulitan. "Kalau boleh bunda kasih saran, lebih baik kamu terima saja tawaran anak itu."

Adara terkekeh ngeri. "Kenapa? Kenapa harus kita turutin kemauan dia?"

"Coba pikirkan baik-baik sayang." ada jeda, "Menurut bunda, daripada kamu bekerja melayani para lelaki hidung belang yang berbeda-beda lebih baik kamu hanya dengan anak itu sampai uang yang kamu butuhkan terkumpul."

"Ini demi kebaikan Dara juga, kita nggak tau lelaki mana yang kemungkinan buruk bisa membawa penyakit ke kamu."

"— jadi kamu mau kan menjadi teman tidur lelaki itu? Percaya sama bunda ini hanya sementara."

Napas Adara mulai memberat, gadis itu menunduk hingga rambutnya menjuntai menutupi sebagian wajah, kedua tangannya refleks mencengkram kepala, mendadak Adara pusing. Ini adalah mimpi buruk.
Meski Aksa menawari upah yang cukup fantastis nilainya dan memang betul dirinya membutuhkan uang yang berjumlah besar, tetapi sampai kapan pun Adara tidak mau jika harus berurusan lagi dengan lelaki itu.

****

****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Adara menarik napas, di tengah keremangan malam dan dinginnya udara, Adara memasukan kedua lengannya pada saku jaket hitam yang ia kenakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Adara menarik napas, di tengah keremangan malam dan dinginnya udara, Adara memasukan kedua lengannya pada saku jaket hitam yang ia kenakan. Sekolah sudah sepi, biasanya murid-murid dengan kerajinan tingkat dewa akan belajar mandiri di sekolah dari sore sampai jam 8 malam. Tapi mungkin karena hari ini hari sabtu, orang-orang rajin dan pintar itu agaknya libur dulu.

Adara menunggu seraya duduk di kursi besi dekat lapangan basket, sesekali melirik kanan kiri, belum ada tanda-tanda Aksa datang.

"Dar."

Baru saja Adara membatin masih dimana lelaki itu, tak sampai 10 menit, Aksa sudah ada di hadapannya, lelaki itu menyisir rambutnya dengan jari, sebelum kini ikut duduk di sebelah Adara.

"Gimana? Lo mau nerima tawaran gue?"

Sepertinya Aksa sudah tahu alasan mengapa Adara memintanya untuk bertemu di sini.

"Terus terang nih ya, mau lo apa sih?" Adara tak kuasa untuk bicara baik-baik. Di dadanya sudah meletus-letus gejolak amarah.

Sementara Aksa, lelaki itu mengangkat alis belum mengerti maksud Adara berkata demikian. "Mau gue?"

"Nggak usah bertele-tele!" dada Adara kembang kempis. "Maksud lo apaan minta sama bunda buat gue terus jadi temen tidur lo?"

"Nggak ada maksud apa-apa." Aksa berbicara tenang berbanding terbalik dengan Adara yang menggebu-gebu. "Gue cuman mau aja."

"Inget ya! Gue bukan barang yang bisa lo beli sesuka hati!"

"Lah?" Aksa terkekeh geli. "Tapi kenyataannya lo emang jual diri, jadi apa salahnya gue beli?"

Plak!

Adara berdiri, lalu memberi tamparan keras satu kali pada Aksa yang kini membatu di tempat duduknya.

"Lo tuh brengseknya nggak nanggung-nanggung ya?!" entah kenapa mata Adara memanas, ia marah bukan karena perkataan Aksa, melainkan marah sebab apa yang lelaki itu ucapkan kenyataanya memang benar. Dirinya sehina itu.

Adara marah pada keadaan yang membuatnya menjadi seperti ini.

Energi Adara sudah hampir habis, perempuan itu berbalik badan untuk meninggalkan Aksa, namun sebelum benar-benar pergi, Adara berucap, "Pokoknya sampai kapan pun gue nggak sudi nerima tawarn lo!"

"Terserah!" teriak Aksa saat Adara mulai menjauh.
"Gue punya vidionya. Kalau lo kekeuh nggak mau, siap-siap aja besok punggung mulus dan muka keringetan lo ada di mana-mana."

Kalimat terakhir yang Aksa lontarkan sukses membuat lutut Adara lemas seketika.

Dan Adara tahu mulai dari sekarang, dirinya benar-benar akan berurusan dengan si iblis Aksa.

*****

Aksa-Dara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang