"Ini siapa yang bawa kayu bakar kecil begini?!"
Budaya ospek nampaknya masih menjadi hal yang paling seru bagi murid senior, pasalnya dengan embel-embel kakak tingkat, mereka bisa sepuasnya mengerjai anak-anak yang akan menginjak di kelas 10 SMA Dharma Wangsa.
Layaknya jagoan, Jihan menenteng satu ikat kayu bakar yang diambilnya dari tumpukan kayu-kayu milik para murid yang masih mengenakan seragam putih biru itu.
Si kakak kelas yang paling galak di antara panitia ospek yang lain membelalakkan mata marah, sebab kemarin ia memerintahkan seluruh murid baru ini untuk membawa kayu bakar seukuran betis masing-masing.
"Masa ada ukuran kaki sekcil ini? Ngaku siapa yang bawa kayu bakar ini?!"Seorang siswi perempuan dengan rambut yang dikucir tiga sesuai bulan lahir terpaksa mengangkat tangan ragu-ragu. Matilah dia karena telah salah membawa barang yang tidak sesuai dengan perintah panitia.
"Oh elu?" Jihan menunjuk satu kali dan membuat isyarat untuk anak itu agar berjaran maju ke depan kelas.
"Sini!"Semua siswa siswi masa orientasi serempak menoleh pada murid malang itu, termasuk Aksa yang sudah muak dengan drama murahan yang para kakak tingkat ciptakan.
"Elo nggak denger? Syaratnya bawa kayu bakar sesuai dengan ukuran kaki sendiri!"
"I-iya kak. Maaf." Siswi itu menunduk layaknya orang kecil yang patuh pada si penguasa.
Jihan berdecak gemas, lalu menempelkan kayu bakar yang telah dipotong dengan rapi itu tepat ke betis si anak baru. "Lihat! Kaki lu itu lumayan gede! Punya pikiran nggak sih kalau nih kayu sama kaki lo itu bedanya jauh tolol."
Si murid yang tidak punya kekuasaan untuk melawan itu memejamkan mata saat mendengar Jihan berbicara kencang persis di dekat telinganya, "Saya m—"
Belum sempat ia meminta maaf lagi, suara riuh kembali terdengar di kelas saat seseorang dari meja paling belakang melempari Jihan dengan cangkang kacang.
Jihan tentu saja murka, ketiga panitia yang hanya duduk memperhatikan di bangku guru pun ikut terkejut. "Siapa yang lempar??"
"Gue!"
Semua pasang mata serempak menoleh pada si murid pemberani atau bisa disebut orang paling berani karena ia telah mengundang masalah besar saat itu. "Kenapa? Kakak yang terhormat tidak terima gue lempar pake cangkang kacang bekas air liur?"
Jihan berteriak sembari mengibaskan rambut yang masih ada cangkang kacang itu. "Kurang ajar!"
Si perempuan pemberani itu bukannya segera memohon maaf malah berdiri dari duduknya dan segera menghampiri tanpa gentar si kakak tingkat yang tengah emosi.
"Gegara kayu bakar doang sampe segitunya? Tuh kayu mau lu makan atau gimana?"Jihan belum membalas, tetapi mimik wajahnya jelas telah memancarkan peperangan.
"Murid baru diminta bawa barang aneh itu tujuannya buat nyiptain suasana santai, kreatif, serta hiburan selama kegitan ospek. Bukan buat kakak tingkat bully sesuka hati!"
"Uuuu...."
"Kata gue dia daripada dapet masalah mending diem!"
"Tapi ngomong-ngomong bagus juga, sesekali kita harus ngelawan biar para panitia ospek itu nggak seenaknya!"
"Gue sih nggak terlalu setuju! Gue takut kita seisi kelas ikut kena masalah cuy!"Bisik-bisik serempak terdengar dari para murid baru yang menyaksikan perselisihan antara si kakak tingkat dan anak baru itu.
Kala itu Aksa yang tengah duduk diam di bangku paling sisi dekat jendela tersenyum tipis, ia tertarik pada gadis berkulit putih itu, tubuhnya yang pendek, rambut dikucir sepuluh dengan benang rapia, bentuk wajahnya yang kecil, mata sipit tetapi memancarkan keberanian, hidung bangir serta bibir mungil yang sekali berkata terdengar pedas di telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksa-Dara [SELESAI]
Novela Juvenil"Sialan Dara?!" "Si bangsat Aksa?!" Setelah kedua manusia itu saling melempar umpatan, lalu hening sekejap seolah semesta bercanda mempertemukan mereka dalam kondisi seperti ini. "Sejak kapan lo ngelonte?" "Brisik! Ternyata lo suka booking cewek?!" ...