"Sialan Dara?!"
"Si bangsat Aksa?!"
Setelah kedua manusia itu saling melempar umpatan, lalu hening sekejap seolah semesta bercanda mempertemukan mereka dalam kondisi seperti ini.
"Sejak kapan lo ngelonte?"
"Brisik! Ternyata lo suka booking cewek?!"
...
Dua bulan setelah kepergian ayahnya, seperti kata Bernadya, —hidup harus tetap berjalan.
Meskipun kini dirinya sebatang kara, Adara rasa ia tidak boleh terlalu lama larut dalam nestapa. Yang Adara bisa hanyalah memberi do'a di setiap harinya agar ketika nanti kesempatan hidupnya sudah habis, Adara akan dipertemukan kembali dengan ayah dan ibu.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Adara memandang wajahnya di pantulan cermin, hari ini perpisahan di sekolah akan digelar, ia sudah rapi dengan kebaya warna merah marun, rambutnya sudah ditata sedemikian rapinya, wajahnya sudah dipoles oleh makeup tipis, ia tersenyum lalu memuji diri sendiri di dalam hati— elo cantik Adara! Gue harap nasib kedepannya akan berjalan mulus dan lo bisa dapet kerjaan yang cukup untuk ngehidupin diri sendiri.
Sebenarnya, setelah lulus sekolah Adara ingin sekali melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, namun lagi-lagi ia sadar diri dengan keterbatasan biaya, mungkin jika nanti ia sudah mempunyai penghasilan sendiri, Adara akan menimang-nimang untuk mengambil kuliah meski harus sambil bekerja sekalipun.
Dering notifikasi chat terdengar, Adara mengambil benda pipih itu dari atas meja riasanya dan membaca dua baris pesan dari Nares.
Nares: dar? Nares: mau berangkat sama gue?
Adara sangka setelah kejadian tiga bulan lalu setelah semua kekacauan yang terjadi di villa, akan membuat Nares menjauhinya, tapi ternyata dugaannya salah. Lelaki itu masih tetap mengajaknya berkomunikasi entah itu lewat chat ataupun saat papasan di sekolah.
Mengabaikan whatsapp itu, Adara buru-buru memasukan handphonenya ke dalam sling bag, lalu melihat jam di dinding kamar sudah menunjukkan pukul delapan lebih sepuluh menit, ia berlari kecil keluar dari kamar dan mengambil lebih dulu higheels yang berada di rak sepatu, sambil mengunci pintu dan kaki yang sambil berdiri, Adara berusaha memakai alas kakinya secara tergesa.
"Aduh kebanyakan bengong sih lu Dar! Jadi telat kan!" omelnya pada diri sendiri, ia berjalan ke arah motor beat warna putih biru dan menaiki kendaraan usang itu dengan rok batik span yang sedikit tersibak ke atas lutut.
Beberapa kali Adara sudah menekan starter namun sialnya barang peninggalan ayahnya itu malah tidak menyala, dilihatnya strip bensin masih penuh, gadis itu menepuk headlamp motor seraya menggerutu.
"Masa iya mogok lagi sih Mek?!" pasalnya Meki baru saja diservice minggu kemarin, tapi rupanya motor itu ingin kembali mempersulit hidup Adara.
Terpaksa Adara turun dan mencoba peruntungan dengan cara kick starter dengan kaki yang terbalut heels 5 centi. Dan lagi-lagi usahanya terkhianati, Meki tetap tidak mau menyala.
"Ah lo kok gitu sih Mek?! Gue udah telat iniii!"
"Masa udah dandan cantik-cantik naik motor sih Dar?"
Adara tersentak kaget saat mendengar suara bariton menyapanya, ia menoleh dan mendapati Aksa berjalan dari dekat mobil ke arahnya. Perempuan itu melepaskan tangan dari stang motor lalu mencabut kuncinya, Adara mengibaskan poni yang menyentuh ujung alis lalu bertanya dengan mata menyipit karena silau matahari. "Elo baru berangkat?"