Love tengah tenggelam dalam tumpukan berkas dan email yang belum terjawab. Monitor komputernya memancarkan cahaya yang menyilaukan. Ia sibuk mengetik dengan kecepatan tinggi. Suara ketukan keyboardnya memenuhi ruangan, mengalahkan suara musik yang mengalun lembut dari speaker di samping monitor.
Suara ketukkan membuyarkan konsentrasinya, tiba-tiba, Gaby, teman sekaligus stafnya, masuk ke dalam ruangan dengan langkah santai. "Serius banget, istirahat bentar yuk? Gue bawa kopi kesukaan lo nih." Jika hanya berdua, Gaby tak menggunakan embel-embel "ibu", itu merupakan kesepakatan keduanya.
Love tak mengalihkan pandangannya dari layar, hanya mengangkat satu alis. "Bentar, gue dikit lagi selesai nih."
Gaby duduk di kursi depan meja Love dan menaruh cangkir kopi di atas meja. "Ayolah, definisi bentar lagi lo itu kayak setahun, tau nggak. Nggak pusing apa lo liat angka terus. Santai dikitlah, dilanjutin entar aja. Lagian siapa yang mau marahin lo sih, you're the boss."
"Bokap gue yang marah." Love akhirnya menoleh, matanya yang tadinya dipenuhi kelelahan kembali cerah saat melihat kopi itu.
"Waduh, kalau bos besar udah dibawa-bawa sih nggak bisa apa-apa gue."
Love mulai menyeruput kopi yang masih panas, merasa lega karena sejak pagi tak sempat menikmati kopi, terlalu sibuk dengan dua rapat yang hanya berjarak setengah jam. "You're a life saver, Gab. Dari pagi gue pengen banget ngopi."
"I know, right. I'm your best staff. Naikin gaji gue!" Candaan Gaby membuat Love tertawa. Wanita itu kemudian mengeluarkan sesuatu, meletakannya di meja. "Gue bawa dari lobi tadi, kebetulan lewat trus resepsionis nitip ke gue."
Love memutar bola mata malas, membolak-balik undangan di tangannya. "Males banget."
Gaby terkekeh. "Udah undangan pernikahan ke berapa lo nih bulan ini?"
"Enam, mungkin."
"Dan nggak ada satupun yang lo hadiri?"
Mengedikkan bahu, Love mengangguk. "Lo tau gue paling males ke acara nikahan. Bukan nggak menghargai yang ngundang, tapi males aja ditanya kapan nyusul. Basa-basi yang terlalu basi! I mean, emang nggak ada pertanyaan lain apa selain itu? Nggak kreatif banget."
"Tapi seenggaknya lo kalau kondangan ada gandengan, jadi nggak ngenes banget kalau ditanya gitu. Nah gue? Aduhh boro-boro gandengan. Sampe tiap acara keluarga nih, gue ngumpet terus, takut ketemu tante gue yang cerewet banget soal jodoh." Gaby memang tergolong cantik, tapi untuk urusan asmara, wanita itu tak pernah beruntung. Hubungannya tak pernah bisa bertahan di atas satu tahun.
"Lagian, kenapa juga orang-orang pengen tau kehidupan orang lain."
Kali ini Gaby tertawa, sudah hafal dengan reaksi Love setiap kali menerima undangan pernikahan. "Sebagian orang emang lebih memilih repot ngurusin orang lain daripada ngurus hidup sendiri."
Ponsel Love berbunyi. Melihat nama yang terpampang di layar, ia tolak panggilan itu. Love bersandar lemah pada kursinya, tiba-tiba merasa kesal.
"Berantem lagi?" Tanya Gaby, ia sedikit banyak tau bagaimana hubungan Love dengan sang kekasih.
Love mengedikkan bahu. "Enggak, cuma lagi males aja."
"Ngomong-ngomong, lo udah ketemu sama lawyer baru itu belum?" Gaby mengalihkan obrolan, tak mau Love semakin kesal. "Gue udah kenalan pagi tadi."
"Gue hampir lupa soal itu. Tadi siang gue harusnya ada rapat sih sama dia, cuma jadwalnya kebentur sama rapat lain, jadi gue cuma kirim perwakilan."
"Katanya, dia mulai kemarin. Gue pikir orangnya udah tua, kayak lawyer sebelumya, ternyata seumur kita. Tapi denger-denger sih, dia cukup berpengalaman, jam terbangnya udah tinggi. Andalan perusahan."