18

886 181 32
                                    

Dengan langkah yang berat dan diseret, Pansa keluar dari taksi, kepalanya tertunduk, pikirannya bergejolak oleh berbagai emosi yang tak mampu ia kendalikan. Udara malam terasa dingin, tapi tak cukup untuk menenangkan dadanya yang terasa sesak. Ia berhenti sejenak di depan pintu utama rumah Evelyn, menarik napas panjang yang tak berhasil meredakan gemuruh di dalam dirinya.

Pintu terbuka tak lama setelah ia mengetuk, memperlihatkan Evelyn yang menyambutnya dengan senyuman cerah seperti biasanya. Namun, senyum itu segera memudar begitu ia melihat wajah Pansa yang kaku dan tegang, dengan tatapan yang membuat suasana menjadi berat.

"Babe, are you okay?" Evelyn bertanya, nada suaranya penuh kekhawatiran.

Pansa tak menjawab. Ia melangkah masuk tanpa menunggu undangan, membiarkan Evelyn menutup pintu di belakangnya. Evelyn hanya bisa mengikuti dengan tatapan bingung, matanya mengamati gerak-gerik Pansa, jelas merasa ada yang tak beres.

Setelah keheningan yang panjang, Pansa berhenti di tengah ruang tamu, membalikkan tubuhnya perlahan, menatap Evelyn lama dengan sorot mata yang penuh luka dan kemarahan.

"Sejak kapan?" suara Pansa akhirnya terdengar, tenang tapi begitu dingin.

Evelyn mengerutkan kening, bingung dengan pertanyaan itu. "Sejak kapan apa, Pansa?"

"Sejak kapan kamu tau soal ini, Eve?" Pansa bertanya lagi, kali ini suaranya sedikit lebih tegas dan menuntut jawaban.

Evelyn masih belum menjawab, tapi firasatnya perlahan mulai membimbingnya pada apa yang sedang dibicarakan Pansa. Ia belum sepenuhnya yakin, atau mungkin belum siap untuk mengakui bahwa ia mulai paham. "Soal apa?" tanyanya hati-hati.

"Kamu tau maksud aku, Evelyn."

Evelyn menatapnya lama, mencoba membaca emosi yang tersembunyi di balik tatapan Pansa. Namun sebelum ia sempat merespon, Pansa mendekat selangkah, suaranya pecah, penuh amarah yang tertahan terlalu lama.

"Sejak kapan?!" teriak Pansa, keras dan begitu tajam, membuat Evelyn tersentak mundur karena kaget.

Selama hubungan mereka, Evelyn belum pernah melihat Pansa seperti ini—marah, rapuh, sekaligus hancur. Wajah Pansa memerah, dadanya naik-turun, dan tatapannya seolah meminta jawaban yang tak bisa ditunda lagi.

Tangan Evelyn mulai bergetar, ia mencoba merangkai kata-kata yang tepat, tapi lidahnya terasa kelu. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa.

"Dua tahun lalu," katanya akhirnya, suaranya hampir berbisik, tetapi cukup jelas untuk terdengar di ruangan yang sunyi itu.

Jawaban itu menggantung di udara, membuat waktu seolah berhenti. Pansa berdiri kaku, menatap Evelyn seolah kata-kata itu baru saja merobohkan seluruh fondasi hidupnya.

***
Flashback

Suasana di lokasi pemotretan sibuk seperti biasa. Kru mondar-mandir dengan peralatan, make-up artist sibuk merapikan hasil kerja mereka, dan desainer memastikan semua kostum tampak sempurna. Evelyn duduk di depan meja rias, wajahnya sudah dipoles sempurna. Ia baru saja akan berdiri untuk berganti kostum ketika tiba-tiba sosok yang dikenal muncul di ambang pintu.

"Tante mau ngomong sama kamu," kata Giselle, adik dari ibunya, dengan nada serius.

Evelyn menghela napas perlahan, sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. Tanpa berkata apa-apa, ia bangkit dan mengikuti wanita itu ke sudut ruangan yang lebih sepi, jauh dari telinga-telinga yang mungkin mendengar percakapan mereka.

Giselle menatap Evelyn dengan sorot mata tajam, seperti ingin memastikan kata-katanya benar-benar serius. "Kamu belum mutusin hubungan sama Pansa," katanya, langsung ke inti permasalahan. Itu adalah pernyataan, bukan pertanyaan.

Gravity 2.0 (Sequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang