Pansa membuka mata perlahan, sinar matahari sedikit mengintip dari tirai yang tak sepenuhnya terbuka. Ia menguap, menggeser selimut yang menempel di tubuhnya, segera masuk ke kamar mandi untuk mencuci wajah.
Dengan langkah sedikit gontai karena masih merasa ngantuk, ia melangkah keluar kamar, tersenyum menemukan wanita cantik yang sejak tadi ia cari keberadaannya.
Di depan cermin, Evelyn berdiri dengan penuh konsentrasi, mengoleskan lipstik berwarna merah yang membuat wajahnya semakin cantik. Rambutnya tergerai indah, jatuh lembut sampai ke punggung.
"Pagi." Pansa menyapa, suaranya masih serak.
Evelyn menoleh, senyumnya mengembang melihat Pansa. "Morning, sleepyhead. Tidurnya nyenyak?"
"Iya, sampai mimpi indah. Tapi badanku rasanya remuk," jawabnya.
"Emang abis ngapain sampe badan kamu sakit gitu?"
Pansa berdecak kesal. "Do you even need to ask? Atau mau diulang lagi? Biar kamu inget." Ia balik menggoda.
Evelyn tertawa, kembali fokus pada cermin. Pansa tak bisa mengalihkan pandangannya. Evelyn hanya mengenakan sleeveless top dengan jeans, tentu butuh sesuatu yang nyaman untuk penerbangan panjangnya nanti. Tapi sesederhana apapun pakaian yang ia kenakan, Evelyn selalu terlihat memukau. Tak berlebihan rasanya jika Bobby—kakak laki-laki Rando—yang juga kebetulan mengenalkannya dengan Evelyn, mengatakan bahwa wanita itu adalah salah satu mahasiswa paling populer di kampusnya dulu, saat mereka mengenyam pendidikan di Melbourne.
Pansa memperhatikan detail kecil di wajah Evelyn, bagaimana warna lipstik itu mempertegas kecantikan alaminya, mata cokelatnya berbinar ketika terkena pantulan matahari.
"Barang-barang kamu udah siap semua?" Tanya Pansa. Keberangkatan Evelyn ke Milan hanya dalam beberapa jam lagi, tapi wanita itu terlihat santai. Bahkan saat datang semalam, ia tak membawa apa-apa.
"Udah diurus sama Marcell," jawab Evelyn, "koperku udah siap dari kemarin, kok," lanjutnya.
Pansa mengangguk, mencoba untuk tak menunjukkan betapa berat perpisahan ini. Dua minggu mungkin tak lama, tetapi baginya, waktu seolah bisa memperpanjang jarak.
"I'm gonna miss you." Pansa akhirnya mengungkapkan apa yang ia rasakan, suaranya begitu rendah.
Evelyn berbalik, ia tersenyum. "Tumben banget, kayak nggak pernah pisah lama aja." Ia maju selangkah, mendekatkan wajahnya pada Pansa. "Bukannya kita juga pernah pisah tiga bulan? Waktu kamu ada training dulu."
Pansa merasakan detak jantungnya meningkat saat Evelyn membentangkan tangannya dan memeluknya erat. Hangat tubuhnya menyebar ke tubuh Pansa, seolah-olah dalam pelukan itu, mereka bisa mengabaikan waktu yang sebentar lagi akan memisahkan.
Sebelum Evelyn, Pansa pernah menjalin hubungan dengan beberapa orang. Tapi entah mengapa hanya dengan Evelyn, ia bisa menunjukan sisi manja yang tak pernah ia perlihatkan pada orang lain. Mungkin karena Evelyn beberapa tahun lebih tua darinya, atau mungkin karena Evelyn memang bisa membuatnya merasa nyaman.
Hubungan keduanya bisa dibilang tak banyak masalah. Tak saling banyak menuntut karena sejak awal, mereka sudah jujur tentang kesiapan masing-masing. Menciptakan ruang yang aman untuk tumbuh dan mengeksplorasi perasaan mereka tanpa tekanan. Tak mengharuskan untuk bertemu setiap hari. Keduanya saling menghargai dan mendukung satu sama lain.
"I hope Milan don't make you forget about me." Pansa sengaja menggoda.
Evelyn tertawa pelan. "Nggak mungkin, dong! Aku lagi photoshoot aja kadang keinget kamu."