"Ciiee yang mau cuti, Itinerary lo udah siap belum?"
Pansa tertawa, mengabaikan ucapan Rando dan segera masuk ke dalam ruangannya. Ia belum saja duduk saat Rando mengetuk pintu kaca ruangannya yang terbuka. Ada dua cup kopi di tangan laki-laki itu.
"Morning coffee buat yang mau cuti."
"Apaan sih, gue cuma cuti, bukan resign." Pansa menerima kopi yang disosorkan Rando.
"Ya tetep aja gue nggak bisa liat lo di kantor. Mana lo cutinya sebulan lagi." Lagi-lagi Pansa tertawa melihat wajah lesu teman seperjuangannya itu. Selain View, Rando adalah sahabat yang cukup dekat sengannya. Berteman sejak kuliah, memulai karier bersama, bahkan hingga kini keduanya bekerja di tempat impian dan mendapat posisi yang bagus.
"Harusnya dua bulan sih ya," sahut Pansa.
"Janganlah, bisa mati bosen gue kalau nggak ada lo! Lagian, emang lo udah dapet approval dari bos?"
Ucapan Rando membuat Pansa teringat sesuatu. Ia mengirimkan surat cuti ke departemen human resource sejak satu minggu lalu, bosnya juga seperti tak keberatan saat ia menyampaikan niatnya untuk cuti, tapi belum ada persetujuan hingga kini.
"Belum sih, makanya gue belum bikin itinerary."
"Jangan-jangan si bos nggak mau lo cuti lagi. Lo kan anak buah kesayangannya, apa-apa Pansa. Takut lo hilang kalau cuti lama-lama," ejek Rando.
Pansa mengambil pulpen di meja, melemparnya pada Rando, membuat laki-laki itu tertawa. "Sialan lo. Nggak mungkinlah bos tega sama gue. Sebelum kontrak gue yang kemarin selesai aja gue udah bilang kok sama dia kalau gue mau cuti."
"Yaudah sih, paling bentar lagi juga di-approve sama bos. Soal itinerary, bocorin dong! Siapa tau gue juga tertarik ke tempat liburan lo. Biar gue bisa nabung dulu."
"Makanya jangan mobil terus lo beli, jadi nggak bisa nabung, kan!" Pansa sengaja mengejek hobi sahabatnya itu—yang membuatnya selalu merogoh kocek dalam setiap kali membeli mobil klasik impiannya, yang kini jumlahnya sudah lebih dari tiga.
"Yeee itu juga investasi, tau! Lo liat aja beberapa tahun ke depan harganya pasti meroket. Lagian lo ngejekin gue kaya hobi gue nggak ada untungnya aja buat lo."
Pansa terkekeh. Memang, ia cukup sering meminjam mobil Rando untuk menghadiri acara tertentu, atau sekadar jalan-jalan. Yang punya mobilpun tak keberatan. Daripada hanya disimpan di garasi, lebih baik dipakai, katanya.
"Mas Rando, meeting udah mau dimulai." Seorang pegawai muncul di pintu.
Rando melihat jam tangan, baru ingat ia memiliki jadwal untuk rapat jam sepuluh. "Untung aja kamu ingetin. Yaudah, kamu duluan aja, nanti saya susul," sahut Rando, perempuan itu kemudian berlalu ke ruang rapat.
Rando segera menghabiskan kopinya. "Gue meeting dulu ya. Nanti lunch bareng nggak? Hari ini lo nggak sibuk, kan?"
Pansa menggeleng. "Gue cuma harus beresin beberapa berkas aja, kok, nggak sibuk. Kabarin aja nanti mau makan siang di mana."
"Okay, see you then."
*
*
*Pansa sedang fokus pada komputernya saat suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Ia dapati pak Joshua—bosnya berdiri di luar pintu kaca. Sambil menelpon, laki-laki itu memberi isyarat pada Pansa untuk mengikutinya. Segera saja Pansa menyudahi pekerjaannya, menyusul sang atasan ke ruangannya.
Sambil menunggu pak Joshua yang masih menelpon, Pansa duduk di depan meja kerja bosnya, mengetuk-ngetukan jarinya di atas paha, tak sabar mengetahui maksud atasannya itu memanggilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravity 2.0 (Sequel)
Fiksi PenggemarYang dianggap usai, ternyata belum selesai.