10

1.8K 235 66
                                    

"Jangan GR, gue nggak jengukin lo, Pansa," balas Love, matanya masih terpejam, tapi tubuhnya mendekat, memeluk Pansa dari samping.

Pansa membeku, tangan Love melingkar di perutnya, dan wajah perempuan itu tepat di ceruk lehernya. Ia bisa merasakan napas hangat perempuan itu. Untuk sesaat pikiran Pansa terasa kosong, tapi kemudian senyum tipis terbit di bibirnya. Love adalah Love, tentu saja ia tak akan mengakui hal-hal seperti ini, pikir Pansa.

Pansa memandang langit-langit kamarnya yang gelap. Detak jam dinding terdengar perlahan, seperti menghitung detik yang terasa begitu panjang. Waktu sudah menunjukan pukul tiga dini hari, tapi Pansa tak juga merasa kantuk.

Pelukan itu terasa hangat, tapi juga membingungkan. Tubuh mungil Love menempel pada sisi tubuh Pansa, dan tangan kecilnya melingkar di pinggangnya seolah takut kehilangan. Pansa tak berani bergerak. Napas Love yang lembut terasa di bahunya, membuat seluruh tubuhnya tegang.

Mengapa tiba-tiba seperti ini? pikirnya, mencoba mencari jawaban dari segala keanehan ini. Love bukan tipe yang sering menunjukkan sisi manis atau kelembutan seperti ini, kadang untuk menyapa jika ada orang lain di sekitar mereka saja jarang. Tapi malam ini... berbeda.

Detak jantung Pansa seperti balapan, tiap denyutnya mengingatkan betapa dekat mereka saat ini. Ia mencoba mengatur napas, tapi percuma. Matanya tak sengaja menangkap wajah Love yang damai dalam tidur. Cahaya bulan samar-samar menerobos jendela, memantulkan cahaya di wajahnya. Sebuah keuntungan dari lupa menutup tirai.

Bibir Love yang sedikit terbuka mencuri perhatian Pansa. Sesuatu di dalam dirinya berteriak untuk berhenti memandang, tapi tubuhnya tak mau menurut. Seperti magnet, ia tak bisa berpaling. Hatinya bergejolak, ragu antara membiarkan malam ini berlalu begitu saja, atau mengikuti naluri yang perlahan menguasainya.

Ini gila! Kata Pansa pada dalam hati. Tapi rasa itu semakin kuat, membisikinya sesuatu yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya.

Ia mendekat. Perlahan, nyaris tanpa suara, memastikan Love tetap terlelap. Wajah mereka kini hanya beberapa senti saja. Pansa bisa mencium aroma rambut Love—campuran lavender dan sesuatu yang manis, entah apa.

Tanpa sadar, ia menutup matanya. Bibirnya menyentuh bibir Love. Lembut, singkat, tapi cukup untuk membuat jantungnya berpacu lebih kencang dari sebelumnya.

Love bergerak sedikit, tapi tak membuka mata. Pansa tertegun, panik membayangkan jika Love terbangun. Tapi tidak, Love tetap diam. Pansa menarik diri perlahan, menatap wajah perempuan itu sekali lagi, lalu memejamkan matanya.

Flashback off

***

Pansa tersadar dari lamunan ketika merasakan sentuhan lembut di tangannya. Evelyn menatapnya dengan sebelah alis terangkat, ekspresi yang selalu membuat Pansa gugup.

"Kenapa sih? Kayak lagi mikir berat," tanya Evelyn sambil menyandarkan dagunya di telapak tangan. Di seberang meja, View yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, mendongak sejenak, ikut memperhatikan Pansa.

Pansa menarik napas pelan, berusaha menenangkan pikirannya. "Enggak apa-apa. Cuma kurang tidur aja semalem."

Evelyn memiringkan kepalanya, matanya masih meneliti wajah Pansa dengan seksama. "Kamu lembur lagi ya kemarin? Akhir-akhir ini kamu sering pulang malem."

"Emang sengaja lembur, biar hari ini bisa pulang lebih awal," jawab Pansa cepat, mengalihkan pandangannya ke arah cangkir kopi di tangannya.

Evelyn mengangkat bahu, seolah tak mau memperpanjang pembahasan itu. Tapi kemudian ia memperhatikan kaki Pansa. "Ngomong-ngomong, kamu jarang banget pakai heels akhir-akhir ini. Tumben."

Gravity 2.0 (Sequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang