Love duduk berhadapan dengan Evelyn, aroma kopi menguar dari gelas yang baru saja diantarkan asisten rumah tangga. Suara tawa Martin dan Chelsea—sepupu Evelyn dari halaman belakang terdengar sampai living room. Theo juga ada di sana.
Love memperhatikan dengan saksama saat Evelyn menarik napas dalam, melempar ponselnya karena Pansa tak juga mengangkat panggilannya. "Kayaknya Pansa masih meeting sama tim legal kantor, kak," kata Love, coba menenangkan Evelyn. Walau sebetulnya ia sendiri tak yakin, karena ia tak bertemu Pansa di kantor sejak pagi.
"Dia lagi sibuk banget ya? Belakangan susah banget dihubungin," tanya Evelyn.
"Kerjaannya emang lagi agak padat, ada beberapa dokumen yang ternyata harus dikaji ulang," sahut Love.
Evelyn melempar pandangan pada tiga sepupunya yang sedang asyik berenang. "Kamu tau nggak, aku sama Pansa udah deket lama banget." Eve memulai, matanya menerawang, seolah kembali pada masa lalu. "Aku nggak suka terikat, begitu juga dengan Pansa. Hal itu yang kemudian jadi alasan kami mutusin untuk sama-sama. Awalnya aku pikir... aku bisa jalanin hubungan seperti ini, karena sebelum-sebelumnya aku nggak pernah ada masalah tanpa ikatan, tanpa status. Aku pikir itu cukup."
Love meneguk kopinya perlahan, menunggu kalimat berikutnya. Evelyn menceritakan kisahnya, Love merasal tak nyaman, tapi juga penasaran.
"But people changes. Makin ke sini..." lanjut Evelyn, suaranya pelan, "aku mulai mau sesuatu yang lebih dari Pansa. Aku tau ini bukan hal yang dia inginkan, tapi aku nggak bisa bohong sama diriku sendiri. Aku mau memiliki dia... sepenuhnya."
Love merasakan tenggorokannya mengering. Dalam hati, ia mulai bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini.
"Aku pernah coba ngomongin ini sama dia," lanjut Evelyn, tatapannya penuh dengan rasa gelisah yang sulit disembunyikan. "Tapi dia selalu bilang nggak bisa. Dia nggak bisa buat komitmen apapun."
Evelyn tersenyum miris. "Aku tau berat untuk dia berkomitmen. Kesamaan kami di awal—yang nggak mau terikat didasarkan oleh sesuatu yang beda. Aku nggak mau berkomitmen karena nggak mau diatur oleh orang lain, sedangkan dia nggak mau berkomitmen karena trauma. Ibunya ninggalin dia gitu aja. Dan orang-orang yang dipercaya dulu, ternyata cuma mempermainkan dia. Itu buat dia semakin sulit untuk percaya sama orang lain."
Love merasakan tubuhnya menegang, napasnya seolah terhenti. Ingatannya berputar ke masa SMA, saat ia dan Pansa pertama kali bertemu, pada kejadian yang kemudian membuat mereka berjarak. Orang-orang yang dimaksud Pansa itu... adalah dirinya. Dialah orang yang ceroboh, merusak perasaan Pansa.
"Dia nggak pernah bilang siapa orang itu," lanjut Evelyn, tak menyadari keterpakuan Love. "Tapi aku bisa ngerasain betapa dalam lukanya. Setiap kali aku nyinggung soal siapa yang melukai dia—yang barangkali pernah dia cintai itu, dia langsung menghindar."
Love mengangguk kecil, berusaha menelan kepahitan di kerongkongannya. Love tak tau harus mengatakan apa. Di satu sisi, ia ingin menyemangati Evelyn, tapi di sisi lain, ia tau luka Pansa lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan.
Dan yang paling parah, dirinyalah penyebab luka itu.
Setelah hening yang panjang, Love mencoba bersuara. "Mungkin dia hanya butuh waktu, kak."
Eve tersenyum tipis, namun senyumnya menyiratkan kelelahan. "Pada akhirnya aku harus tetep nunggu."
Love hanya bisa menunduk, menahan rasa bersalah yang mendesak dadanya. Ia tau, rasa sakit yang dirasakan Evelyn adalah bagian dari rasa sakit yang dulu ia timbulkan pada Pansa. Rasa sakit yang sekarang menjadi bayangan di antara Pansa dan kebahagiaannya.
*
*
*Kantor sudah sunyi, suara keyboard laptop Pansa adalah satu-satunya yang terdengar di ruangan itu. Ia sedang menyelesaikan laporan hasil rapatnya sore tadi. Jam di layar laptop menunjukkan pukul delapan malam, Pansa akhirnya menghela napas panjang, menutup laptopnya saat pekerjaannya akhirnya selesai.