Bab 21

1.7K 117 11
                                    

Jarum jam saat ini sudah menunjukkan angka sembilan malam setelah Elena tiba di sana. Eizer sudah berpindah tempat dari duduk di atas sofa menjadi duduk di atas meja dekat dengan dinding kaca. Dia memperhatikan Elena yang berdiri memandang keluar.

"Sedari tadi kau hanya diam." Eizer bersuara setelah begitu lama membiarkan keheningan membentang di antara mereka. "Samapai kapan kau akan di sana?" dia bertanya. Sudah habis kesabarannya jika harus memperhatikan Elena yang terus berdiri dan memandang keluar dengan keadaannya yang masih berantakan.

"Saya ingin pulang," lirih Elena. Seandainya saja tadi dia menolak ikut dengan Bobby, tetapi dia juga tidak ingin Bobby mengalami masalah karena dirinya.

Sebelah sudut bibir Eizer terangkat. Dia melepaskan lipatan tangannya yang berada di depan dada. Dia bangun dari duduknya dan berjalan menghampiri Elena. Tubuh tegap dan tingginya mengurung tubuh kecil Elena dengan kedua tangan bertumpu di dinding kaca, menjadi pembatas agar Elena tak bisa lepas darinya. "Kau akan pulang jika aku juga pulang," ucapnya.

"Mengapa Tuan melakukan ini semua?" tanya Elena. Dia tidak menoleh sedikit pun kepada Eizer.

"Apa yang kau tanyakan?" Eizer balik bertanya. Dia ikut memandang keluar.

"Tuan memberikan para pelayan libur bekerja bukan?" Tanya Elena. Dia menjeda kalimatnya berniat kembali berbicara tetapi Eizer lebih dulu bersuara.

"Elena, kau terlalu percaya diri," ucap Eizer. Sepertinya dia tahu arah pembicaraan Elena. "Aku memberikan libur kepada para pelayan bukan karena ingin membaw kau ke sini. Tidak perlu merasa percaya diri dengan hal itu, karena kau tidak begitu penting," sambungnya.

Tangan Elena terkepal dengan kuat. Dia menggigit bibirnya hingga secara perlahan rasa asin mengusik lidahnya. Dia tidak mengerti dengan Eizer. Pria itu selalu merendahkannya dalam keadaan apa pun.

"Jangan merasa dirimu berharga, Elena! Ingat, saat ini kau hanya selingkuhan. Kita berdua berselingkuh." Eizer berbisik di telinga Elena. Tangannya saat ini meraih pinggang Elena dan membawa punggung Elena untuk menempel di tubuhnya.

"Sa-Saya tahu," jawab Elena lirih. Dia menahan air matanya. Mendengar suara bisikan Eizer yang lembut tetapi tidak dengan apa yang di bisikannya. Membuat hatinya amat tercubit. Rendah sekali bukan dirinya?

Eizer merasakan punggung Elena sesekali bergetar. Dia memang tidak melihat wajah Elena, tetapi dia tahu jika Elena kemungkinan menangis. Biarlah Elena menangis karena ucapannya, karena dengan begitu Elena bisa tetap berada di sisinya dengan alasan rendah. Dia tahu itu terdengar gila, tetapi itu kenyataannya.

Dedaunan hijau di luar bergoyang terkena angin. Bulan juga terlihat jauh, sangat jauh sehingga terlihat begitu kecil. Cicitan burung malam terdengar sesekali, dan sekali lagi di antara Elena dan Eizer terjadi keheningan.

"Kemari," ucap Eizer pada akhirnya. Dia memutar tubuh Elena agar menghadap dirinya, sehingga dia bisa melihat mata Elena yang basah dan bibir yang berdarah. Dia tahu Elena menahan isakannya dengan menggigit bibirnya.

"Saya ingin pulang," lirih Elena. Air matanya luruh. Dia mendongak, melihat Eizer yang saat ini menatap dirinya dengan diam.

Pemandangan di bawah matanya saat ini terlihat begitu lucu. Eizer memperhatikan wajah kecil Elena yang memerah dengan air mata yang berjatuhan. Elena baginya saat ini terlihat seperti anak kecil yang merengek ingin pulang dari tempat yang tidak nyaman untuknya.

"Saya hanya ingin pulang." Elena kembali bersuara. "Saya ingin menemui ibu saya," sambungnya.

Tangan Eizer terangkat. Dia mengusap bibir Elena yang berdarah menggunakan ibunya jarinya, lalu setelahnya dia menarik tubuh Elena kedalam pelukannya. "Aku akan membawa kau pulang setelah musim panas berakhir. Aku janji setelah itu kau bisa menemui ibumu sepuasnya," ucapnya. Telapak tangannya mengelus punggung kecil Elena dengan lembut.

Troubled ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang