Bab 22

2.8K 146 9
                                    

Itri dari pengurus vila terlihat menata hidangan makan malam di atas meja, lengkap dengan hidangan pencuci mulut. Terakhir dia meletakkan alas dan meletakkan piring beserta garpu dan pisau makan. Tidak ketinggalan juga sapu tangan dia letakan di sisi piring. Setelah melihat dan memastikan kembali bahwa tidak ada yang kurang, barulah dirinya menaiki tangga lantai dua dan berniat memberitahukan kepada Eizer bahwa makanan sudah siap.

"Elena, kemari," ucap Eizer sebelum dirinya harus menoleh ke arah langkah kaki yang menghampiri mereka.

"Maaf, Tuan, saya ingin menyampaikan bahwa makan malam sudah siap," ucap istri pengurus vila.

"Baiklah, terimakasih Nyonya Milly. Saya akan turun ke bawah sebentar lagi." Eizer menjawab dengan sopan, karena bagaimanapun Milly jauh lebih tua darinya.

"Baik, Tuan. Kalau begitu saya akan kebawah, mari," ucap Milly dan segera pergi dari sana meninggalkan hawa tegang yang dia rasakan di antara Eizer dan gadis yang terlihat berdiri menghadap ke luar.

Setelah kepergian Milly, Eizer berdiri dari duduknya. Dia berjalan ke arah Elena yang sedari tadi terus terdiam, dan dia benar-benar tidak suka akan hal itu. "Ayo makan, Elena," ajaknya. Tangannya menyelip ke bawah lengan Elena. Dia memeluk Elena dari belakang.

"Saya tidak lapar," balas Elena. Ketimbang lapar, saat ini dia lebih ingin pulang. Dia tidak suka berada di sana. Terlebih saat mendapatkan tatapan aneh dari pengurus vila dan istrinya. Mungkin mereka merasa aneh karena dia bukan Deborah istri tuan mereka. Tentunya mereka sudah tau istri Eizer yang mana.

"Jangan berbohong! Kau hanya makan saat di luar, itupun hanya sedikit," balas Eizer. Dia membalikkan tubuh Elena dan memperhatikan wajah Elena. "Sudah kubilang bahwa aku paling tidak suka di bantah. Jadi, semua ucapanku harus di turuti," sambung Eizer.

Memejamkan mata sekilas, Elena kembali membuka matanya dan mendongak, melihat Eizer yang menunduk melihat dirinya. "Saya akan makan," ucap Elena pada akhirnya. Dia tahu sekeras apapun dia membantah perintah Eizer, dia akan tetap kalah. Sepertinya itu yang harus dia ingat. Eizer adalah pengendalinya, dia bebas melakukan apapun kepadanya karena dirinya adalah barang miliknya.

Elena menundukan kepalanya dan meloloskan diri dari lengan Eizer. Dia berjalan menuruni tangga tanpa menunggu atau sekedar melihat lagi kepada Eizer.

Eizer masih menghadap keluar. Bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman kecil, sebelum pada akhirnya memilih mengikuti Elena yang sudah tak terlihat.

Elena yang sudah berada di ruang makan segera menarik kursi dan mendudukkan dirinya. Namun, sebelum melihat Eizer duduk di kursinya, Elena tidak berani mengambil makanan lebih dulu, karena bagaimanapun Eizer adalah tuannya, dia tidak sepatutnya mengambil makann sebelum tuannya.

Tak lama Eizer menyusul. Dia kini sudah duduk berhadapan dengan Elena. Dia mengambil steak beserta saus bayam. Sebelum itu dia juga meraih gelas yang sudah terisi air. Dia meminum setengah airnya, dan setelah itu mulai memakan makannya. Dia tidak perduli kepada Elena yang masih memperhatikan dirinya dengan bibir yang tergigit. Sebenrnya dia tahu, dia bisa melihat melalui ekor matanya. Dia sengaja karena ingin memberikan pelajaran kepada Elena yang sempat menolak makan.

Bunyi gemuruh perut Elena membuat dirinya sendiri melotot dan dengan cepat dia memegangi perutnya, berharap mereka berhenti membuat bunyi yang memalukan. Wajah putihnya saat ini sudah memerah dengan bibir yang tergigit kuat. Dia menunduk, tidak berani melihat ke arah Eizer yang dari suara garpu dan pisaunya saja sudah terhenti. Dia tahu bahwa Eizer saat ini pasti melihat ke arahnya.

Setelah cukup lama dalam keadaan hening dan menahan malu, Elena mulai mendongak saat Eizer bersuara.

"Cepat habiskan makananmu," ucap Eizer. Dia mendorong piring berisi daging yang sudah di potongnya menjadi potongan kecil yang sekiranya muat di mulut mungil Elena. "Aku tidak ingin seseorang yang mengatakan tidak lapar mati kelaparan karena berbohong," sambungnya.

"I-iya," jawab Elena. Rasanya saat ini telinga dan pipinya begitu panas. Dia sungguh malu. Perutnya mempermalukan dan ikut menjatuhkan harga dirinya yang tinggal secuil itu.

Sedangkan Eizer, dia tersenyum kecil di sela-sela kunyahannya.

**

Malam kian larut, langit di atas sana yang tak berhias bulan pun kian menggelap, menyisakan angin yang berhembus cukup kencang menerpa dedaunan hingga terdengar bunyi gesekannya.

Di dalam kamar yang bernuansa abu-abu dengan menghadap ke arah samping, di mana pepohonan berjejer, Eizer masih berkutat dengan laptop yang berada di depannya. Sedangkan di hadapannya terdapat sebuah dokumen yang baru saja di bacanya. Pencahayaan  lampu hanya menyorot kepadanya, sedangkan lampu utama sudah padam mengantarkan sosok mungil yang berparas cantik tertidur nyenyak.

Di atas kasur empuk Elena sudah tertidur setelah mengisi perutnya hingga kenyang. Dengkuran halus terdengar, menandakan bahwa tidurnya begitu nyenyak.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya yang terkahir, Eizer menutup laptopnya. Dia berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah sofa. Hal pertama yang dilakukannya adalah membuka bajunya, menyisakan celana pendek yang di pakainya. Lalu, dia berjalan ke arah kasur, di mana Elena berada.

Ikut merebahkan dirinya di samping Elena yang tertidur menyamping, Eizer menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka berdua. Tangannya segera memeluk tubuh Elena, membawanya untuk masuk kedalam dekapan hangatnya.

"Engh...." Elena melenguh. Dia juga berdecak dan mengibaskan tangannya. Mirip anak kecil saat terganggu tidurnya.

Eizer tertawa kecil. Dia semakin memeluk Elena. "Elena, kemari," bisiknya. Dia berusaha membalikan tubuh Elena agar menghadap kepadanya. Itu berhasil, dan dia kembali memeluk tubuh itu, menghirup wangi dar rambut dan bahu Elena yang terbuka.

"Selamat tidur," ucap Eizer. Dia mencium kening Elena hingga turun ke mata, hidung, kedua pipi Elena dan terkahir ke bibirnya. Niat hati hanya ingin mencium sekilas, Eizer harus di buat gila ketika kenikmatan dari bibir Elena menyerap langsung kedalam otaknya. Dia buntu, lagi dan lagi terpesona oleh godaan tubuh Elena yang bahkan pemiliknya saja tak sadarkan diri.

"Eng...." Elena melenguh, membuka mulutnya hingga kesempatan itu segera di manfaatkan dengan sangat baik oleh Eizer.

"Elena," panggil Eizer. Napasnya memburu. Tangannya masuk kedalam dress yang dikenakan Elena. Dia mengusap perut rata Elena hingga sampai di mana kini telapak tangannya menggenggam daging yang membusung. Ukurannya hanya pas di telapak tangannya. Dia mermasnya, membuat lenguhan tak sadar Elena kembali terdengar. Sedangkan bibirnya mendarat di leher Elena.

"Tuan!" mata Elena seketika terbuka. Dia begitu kaget dengan apa yang terjadi. Bukankah dirinya hanya bermimpi, tetapi kenapa saat ini menjadi kenyataan? Ataukah ini masih dalam mimpi. Elena merasa linglung saat ini.

"Aku menginginkanmu, Elena," bisik Eizer di telinga Elena. Dia bahkan mengigit kecil di sana, menggoda, membuat Elena memejamkan matanya dengan geli.

"Tuan, sa-saya_" ucapan Elena terhenti ketika Eizer mencium bibirnya dan tangannya mulai menyelinap di celana dalam yang di kenakannya.

"Diam, Elena!" perintah Eizer. Sedangkan tangannya di bawah sana menerobos masuk. Dia menggoda milik Elena dan mengelus dengan gerakan pelan, membuat Elena menjadi tak karuan.

Bersambung......

Aku udah up dua Bab ni, jangan lupa votenya ya...🥰🥰

Troubled ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang