2

98 19 2
                                    

Kabar buruk diterima seluruh warga usai rombongan dari kerajaan. Mereka gundah akan kehidupan seterusnya. Seingat mereka bahwa seringkali tergantung bantuan pihak kerajaan untuk menjual apapun hasil bumi mereka.

Esna yang telah memasuki kamar pribadinya justru terkejut. Istrinya yang berbadan dua saat ia tinggal, kini tergolek lemah diatas ranjang. Tak ada satupun box bayi atau perlengkapan bayi apapun.

"Maaf." Hanya sepatah kata diucapkan Dione.

Esna merasakan hancur. Ia sudah menerima dipermalukan didepan seluruh keluarga kerajaan. Kini ia melihat istrinya yang baru saja terbangun meminta maaf.

"Permisi Nyonya, ini bayi Anda." Seorang tabib menyerahkan jasad bayi yang telah memucat itu pada gendongan Dione.

"Hiks anak Ibu, anak tampan ibu! Bangun ya." Tak kuasa air mata ia bendung.

"Sayang...!" Esna tetap harus waras. Ia seorang kepala keluarga, tak seharusnya ia ikut larut dalam kepedihan. Anak bayinya harus cepat diistirahatkan.

Perlahan ia menggendong bayi pucat itu dengan hati-hati. Tak ingin menghancurkan istrinya jika tiba-tiba ia merebut bayi yang telah tiada itu.

Degg

Tatapannya terkunci pada raut bayinya. Rambut hitam legam sama seperti rambutnya. Meski belum sempat mendengar suara tangisnya, ia yakin bahwa bayi itu mirip dengannya.

Sementara dari luar ruangan, seorang anak perempuan keluar rumah sambil menangis. Ia benci melihat kedua orang tuanya sedih. Ia benci pada dirinya karena tadi membawa ibunya menuju kantor ayahnya untuk menyambut. Tak tau bahwa hal itu membawa petaka kesedihan dalam keluarganya.

Esna disambut beberapa maid dan seorang butler yang telah mempersiapkan peti serta makam anaknya.

"Tuan, peti tuan kecil sudah kami siapkan." Ucap butler dengan sopan.

Esna tak mempedulikan mereka. Langkah kakinya menuju ruang yang beberapa bulan lalu ia siapkan. Kamar yang penuh warna serta berbagai gambar hewan.

"Nak, putra ayah! Ini semua ayah siapkan untukmu, ada kasur empuk, selimut bulu halus, tembok yang ayah cat dengan gambar gajah, lalu beberapa kayu ukir berbentuk bebek." Sekuat mungkin ia tahan agar air mata itu tak jatuh pada tubuh mungil itu.

"Ayah banyak mimpi kemarin nak. Ayah suka dengan nama Arsena. Jadi namamu Arsena, artinya kaya raya. Kaya akan ilmu pengetahuan lalu bisa hidup mandiri." Isakan beberapa kali terdengar bahkan suaranya mulai bergetar.

Mereka para maid disana hanya bisa berdiri, menatap tuan mereka yang tengah bersedih.

"Harusnya ini tak boleh terjadi." Ucap Esna sambil mengusap kepala dan pipi anaknya.

"Arsena baru saja lahir, harusnya ayah yang sudah tua ini pergi lebih dulu. Dunia memang tak adil nak, tapi bolehkah ayah egois untuk ayah bisa tetap hidup bersamamu?" Tak bisa lagi bertahan, ia jatuh duduk sambil memeluk erat putranya.

"Ayah sayang Arsena... Hiks hiks." Pilu, bahkan terlalu dalam kekecewaan Esna dengan takdir putranya.



Tak tahukah bahwa ucapnya itu membawa suatu hal? Mungkin takdir diubah untuk Arsena kecil. Perlahan kulit pucat itu mulai memerah. Pernafasan bayi itu juga mulai berfungsi. Dan tak lama.

Oek oek oek

Esna makin mendekap erat, ia berterimakasih apa Yang Kuasa telah menuruti keegoisannya. Bayinya kembali, dan ia benar-benar bisa menjadi seorang ayah yang sempurna bagi kedua anaknya.

"Ya Tuhan!" Ucap seorang maid tak percaya.

"Cepat panggil tabib tadi!" Teriak Butler.

Tak lama tabib yang hampir pulang itu diseret masuk. Menemui seorang bayi yang tengah menangis keras dalam dekapan ayahnya.

"Keajaiban Tuan! Denyut nadinya normal, nafasnya juga normal. Selamat Tuan!" Ucap tabib dengan senyum sumringah.

Kemudian bayi itu dikembalikan pada ibunya untuk disusui. Lalu keluarga kecil itu saling memberi bonding pada anggota kecil mereka.



Tepat seminggu atas hari kelahirannya. Arsena, bayi kecil itu mulai sering terdiam. Kala pengelihatannya mulai normal layaknya manusia biasa. Banyak hal dalam pikirannya.

Ia merupakan Arsena dewasa sebelumnya. Kemudian lebur menjadi sebutir debu hingga dilahirkan kembali. Ia ingat sebagian kehidupan atas nama Arsena Bhaskara, atas pelukan terakhir Daddy Rangga yang khawatir padanya. Ia ingat hidupnya dulu tak pernah bahagia.

Oek oek oek

Dia benci hal ini, emosi tak terbendung. Dan hanya bisa menangis. Dia rindu dekapan hangat Daddy-nya. Lalu dimana dia sekarang?

Di kehidupannya dulu, dia tak mengerti kasih sayang seorang ibu. Cerita seorang maid mengatakan dirinya hanya diberikan susu formula sejak awal kelahiran. Namun kini, tiap kali dia menangis selau dijejali ASI.

'Hei Nyonya, aku sudah dewasa! Berikan saja pada Daddy ku. Pasti akan dipesankan lalapan bebek!' ujar Arsena dalam benaknya.

'Aish aku benci ini! Aku masih mau melihat dunia, mengapa tiap nenen selalu ngantuk!' runtuknya melawan rasa kantuk namun selalu gagal.

"Lihat dia, matanya merem melek!" Ejek Esna pada putranya.

"Jahat!" Jawab Dione.

"Arsena tidur nak!" Ujar Esna sambil mengelus pelan pucuk kepala anaknya.

Seorang anak perempuan di samping Dione tampak takjub. Usapan lembut ayahnya selalu manjur membuat adiknya itu tertidur pulas. Bahkan Charoline hingga usia 11 tahun tak terlalu suka dimanjakan ayahnya dengan sentuhan.

Arsena sedari dulu terpaku pada sosok Daddy-nya. Karena rasa nyaman pertama kali berasal dari orang itu. Jadi jangan salahkan jika Arsena lebih terbuai akan sosok hangat Daddy dibandingkan bermanja-manja bersama ibu.

Wilayah Erburg? Wilayah ini mulai ditata ulang. Mereka terisolasi seutuhnya dengan wilayah lain. Tak hanya karena lepas dari pemerintahan Kerajaan Heren, akibat hujan yang sering turun maka lahar dingin selalu deras mengalir di jalur sugai lahar. Sehingga banyak pedagang pendatang yang takut untuk kesana.

Rakyat Erburg sendiri meski tak lebih dari 609 orang, mereka mulai percaya pada pemimpin mereka. Berharap suatu saat nanti, dengan bantuan para ksatria baru wilayahnya menjadi makmur.



TBC

Ehehe model baru, mohon dukungan para reader ya!
Kasih komen dan masukan. Makasih

Good Doctor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang