27

34 9 2
                                    

Arsena tak mengerti mengapa para dokter tak mau menangani bayi itu. Bahkan membiarkan si bayi berada pada sebuah meja sendirian dengan beberapa kain berserakan. Sama halnya dengan para perawat, mereka fokus dengan membantu dokter menangani ibu bayi.

"Masih hangat, detak jantung lemah." Ucap Arsena mengecek detak jantung bayi menggunakan stetoskop.

"Tunggu, tetap disini dulu sama kakak." Ujar Arsena perlahan mengambil kaki dan membalikkan posisi bayi.

Sret sret sret

Arsena mengusap punggung bayi yang ia balik. Cukup berhati-hati namun menekan tindakan agar denyut jantung bayinya kembali. Sambil berdoa dalam hatinya agar usahanya berhasil.

"Sabar sayang!" Dengan hati-hati ia memasukkan telunjuknya dalam mulut bayi hingga pangkal kerongkongan.

Arsena melihat adanya cairan yang keluar dari mulut bayi. Dan usai mengeluarkan jarinya, nampak ada cairan seperti air ketuban bercampur darah membeku.

"Ambilkan infus NaCl, buka katupnya!" Perintah Arsena pada seorang perawat yang menyeretnya tadi.

Ia melakukan cuci hidung pada bayi yang telah didekapnya. Tentu dengan kondisi tubuh bayi yang mulai memerah. Dan setelah cairan infus itu lancar keluar dari tiap sisi lubang hidung, ia kembali membalik bayi fan mengusap punggungnya.

"Ayo kembali sayang, kakak memang tak memiliki kemampuan pediatric. Jadi kumohon beri kakak keajaiban itu." Ujar Arsena dengan khawatir.

Oegh
Hug hug

Oek oek

Arsena berhasil, bayi itu kembali. Ia memuntahkan air ketuban dengan sisa darah. Bahkan saat mendekap kembali bayi itu segera melakukan pemeriksaan nafas dan jantung menggunakan stetoskop.

"Iya ngga apa-apa, nangis dulu ya!" Ujar Arsena masih menggendong bayi.

"Nyonya tolong periksakan telinganya." Minta Arsena pada perawat didekatnya.

Hanya Arsena dan perawat itu yang merayakan keberhasilan. Hanya mereka, karena para dokter gagal menyelamatkan si ibu bayi yang mengalami pendarahan. Sesungguhnya Arsena juga tak mengerti bagaimana wanita itu bisa mengalami pendarahan. Sementara bayi lahir dengan kondisi normal baik pada panjang maupun bobotnya, serta dilaporkan lahir sendirian tanpa ada bayi lain.

"Anak sialan! Kau membunuh istriku!"

Si pria yang merupakan bangsawan Count itu terus memaki bayi yang baru lahir. Suaranya yang lantang mengabaikan bayi yang kembali menangis keras.

"Maaf, tapi jangan didekati." Ujar seorang dokter yang juga melihat keramaian itu.

"Tetapi bagaimana dengan kondisi bayinya?" Tanya Arsena dengan khawatir.

"Bajingan ka..." Plakk

Arsena segera memukul lengan sang Count yang murka itu. Ia tak habis pikir, bagaimana seorang yang katanya ayah tega memaki dan hendak memukul seorang bayi baru lahir. Nuraninya tak menerima kejadian itu, meski sejujurnya para pengawal Count itu membiarkan Tuannya berlaku bringas.

"Maaf Tuan Count, apakah Anda sadar dengan perlakuan Anda?" Suara Arsena teramat datar.

"Apa urusanmu hah?" Bentak Count itu.

"Kau mau membela bayi pembunuh itu?" Teriaknya didepan wajah Arsena.

Arsena menatap sepasang netra coklat itu dengan dingin. Ia menahan gejolak emosinya agar tak tampak heboh disini. Dia tak bisa bela diri, jika tidak berhati-hati mungkin ia bisa mati konyol dipenggal ksatria pengawal itu.

Good Doctor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang