Waktu berlalu begitu cepat, seiring dengan berbagai perubahan musim. Saat musim dingin, akademi memang tak diselimuti oleh salju. Namun suhu termometer selalu menunjukkan suhu 10° Celcius. Sehingga para penghuninya mengenakan mantel tambahan.
Tepat di hari Rabu ini dilaksanakan ujian kelayakan tingkat. Seluruh kelas melaksanakan ujian dengan berbagai metode. Ada uji praktik mandiri atau berkelompok maupun uji materi. Dimana tiap siswa melaksanakan ujian kelas wajib serta kelas pilihan.
"Tugas kalian adalah melakukan analisa dari pasien. Hanya itu, lalu akan dievaluasi oleh dokter pendamping kalian masing-masing." Ucap seorang profesor dari kelas kedokteran.
Karena dalam 5 tahun terakhir hanya sedikit peminat, setidaknya ada dua atau tiga orang yang masuk. Sedangkan kemungkinan mereka lulus tak lebih dari satu orang. Mengetahui mereka yang bisa masuk kesini dipastikan akan belajar keras. Banyak siswa bersaing saat penerimaan namun gagal karena kurang memenuhi syarat atau siswa yang diterima telah meninggal akademi entah karena tak tahan dengan studi. Atau bahkan ditarik kembali sebagai pasukan kerajaan.
Kini keenam orang siswa kedokteran memasuki ruang ujian masing-masing. Memulai beberapa hal sesuai prosedur anamesis yang telah mereka pelajari.
Arsena mendapatkan seorang pasien anak-anak. Sekiranya berusia lima tahun.
"Permisi Nyonya, saya siswa kedokteran Akademi Heidelberg. Boleh saya bertanya sebentar?" Wanita itu mengangguk lemah.
Sambil ia menatap putranya yang mual serta muntah beberapa kali tadi. Dengan tubuh yang lesu serta wajah yang agak pucat. Ia menggenggam tangan kiri anaknya.
"Nyonya siapa nama anak Anda?"
"Caius." Hanya itu yang berarti orang biasa.
"Berapa usianya?"
"Kenapa harus bertanya usia? Bukankah seharusnya langsung saja temukan penyakitnya lalu segera obati. Kau itu cuma anak kecil!" Hina orang itu pada Arsena.
"Ini rumah sakit Nyonya, anda berteriak didepan pasien. Jika kami tak bertanya usia dan keluhan pasien bukankah lebih baik putra anda diberikan pil sapi saja?" Sarkas Arsena dengan wajah datar namun suaranya masih ramah seperti awal.
Dokter di belakangnya mendiamkan kejadian itu. Berusaha memberikan penilaian se objektif mungkin. Namun tentu memberikan penanganan bila siswanya dianggap tak bisa memenuhi penilaian.
"..." Wanita itu pun terdiam.
"Jadi berapa usia putra Anda, jika tak dijawab mungkin bisa diberikan pil sapi saja." Ujar Arsena lagi.
"Lima setengah tahun." Wanita itu tak berkutik akibat ancaman itu.
"Apa saja yang dikeluhkan?"
"APA KAU RAK MELIHATNYA?" Bentak wanita itu lagi.
"Saya hanya melihat putra anda terbaring lemah saja." Jawab Arsena masih datar.
"Kau bahkan tak tau apa penyakitnya! BANYAK BICARA!" Cerca wanita itu dengan penekanan di akhir kalimatnya.
"Kami bukan dewa atau cenayang Nyonya. Jika Anda tak mengatakan keluhan apapun, berarti putra Anda hanya kelelahan. Lebih baik istirahat di rumah." Ekspresi maupun nada suara Arsena tak berubah.
Dokter penilai itu agak khawatir sebetulnya. Ketakutan jika Arsena terbawa emosi menghadapi pasien atau keluarganya. Namun yang ia lihat hanya anak yang masih sama seperti awal anak itu masuk dalam ruangan.
BRAKK
"Maaf bagaimana keadaan putra saya!" Seorang pria tiba-tiba masuk.
"Jadi Anda ayahnya?" Mata Arsena beralih ke pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Doctor
AdventureLara dan emosi telah terkubur dalam. Meninggalkan kenyataan akan kedudukan, keluarga dan kenangan. Dia telah melihat bagaimana kehidupan dulu, meski sementara lalu kembali terhapus setelah bangun kembali. "Setidaknya aku akan berusaha bahagia lagi...