04.

94 8 0
                                    

"Pak? Pak Ryu?"

"Halo, Pak Ryu?" Ryu mengerjap saat lambaian tangan Nicho mengacau pandangannya yang sedang melamun. Nicho merasa iba pada atasannya. Sejak kepergian Rio, Ryu terlihat sering melamun dan tidak fokus bekerja.

"Udah jam pulang kantor, Pak. Bapak mau pulang atau masih ada yang mau diselesaikan?"

"Nggak ada lagi, Nic. Cukup untuk hari ini. Silahkan pulang. Terima kasih untuk kerja bagusnya."

"Baik kalau gitu, saya duluan ya, Pak, mau pacaran, hehehe." Ryu menatap sekretarisnya yang pulang kerja dengan girang karena tidak perlu lembur membantu Ryu menyelesaikan banyak hal. Ryu sedang tidak bisa lembur karena tidak ada yang menjaga Arsel saat malam hari. Hal itu menjadi alasan Ryu melamun sejak tadi. Ryu memikirkan wasiat Rio yang tidak ingin dijalankan namun menganggunya setiap malam. Dipikir-pikir memang benar bahwa warisan Arsel harusnya dimanfaatkan untuk kepentingan anak itu. Tapi bagaimana Ryu akan menikah kalau calonnya saja tidak ada. Tidak ada siapa pun yang Ryu suka meski pun banyak perempuan mencoba mencari-cari perhatiannya.

Ryu mengacak rambutnya frustasi karena tak sanggup memikirkannya terus terusan. Sebaiknya ia pergi saja dari kantor dan minum segelas kopi agar tidak terlalu stress. Mobilnya ia bawa melaju ke sebuah coffee shop yang terlintas dipikirannya. Ryu butuh menyegarkan pikirannya sebelum pulang dan menemui Arsel dalam kondisi mood yang baik.

Ryu memarkirkan mobilnya di depan coffee shop yang tidak terlalu ramai. Cocok untuk minum kopi sendirian, pikirnya. Ryu baru beberapa langkah menuju ke coffee shop namun Ryu melihat seorang perempuan jatuh di jalan karena ditabrak oleh dua anak laki-laki berseragam SMA yang sedang lari-larian tidak jelas. Merasa kenal dengan perempuan yang terduduk di tanah, Ryu segera menghampirinya.

"Ish, kenapa lari-larian sih!" Perempuan itu mendumel sambil memegang heels sebelah kirinya.

"Mana patah lagi," lanjutnya menghela napas panjang. Ada-ada saja kesialan yang datang.

"Ruhayya?" sapa Ryu memastikan. Ryu jongkok di sebelahnya.

"Loh, Pak Ryu?" Aya kaget. Kenapa tiba-tiba ada Ryu?

"Kamu nggak apa-apa?" Ryu mengutip semua kertas Aya yang berserakan di tanah sekaligus dengan cup kopinya yang sudah kosong.

"Terima kasih,Pak. Maaf merepotkan." Aya mengambil semua kertas-kertas miliknya dari tangan Ryu dan memasukkan kembali ke tasnya.

"Ayo!" Ryu mengulurkan tangannya. Aya menggapainya ragu-ragu namun akhirnya berhasil berdiri karena dibantu Ryu. Perempuan itu melepas sepatu heelsnya sebelah kanan dan mencoba mematahkan satu lagi agar bisa berjalan seimbang ketika memakai bersamaan dengan yang sudah patah lebih dulu.

Tanpa bicara, Ryu mengambil sepatu heels dari tangan Aya dan mematahkannya dengan mudah. Aya sampai menganga sejenak tidak menyangka. Tenaga laki-laki memang luar biasa.

"Nih, pakai!" Ryu meletakkan heelnya di tanah lalu membuang penyangga sepatu heels yang dipatahkan bersama cup kopi ke dalam tong sampah yang ada di sana.

"Terima kasih, Pak Ryu."

"Mau beli kopi baru?" tawar Ryu pada Aya.

"Oh nggak usah, Pak. Saya harus pulang." Tolaknya sopan.

"Ehm, Ruhayya, boleh saya traktir kopi sebagai bentuk terima kasih karena sudah menyelamatkan Arsel waktu itu?" Ryu tersenyum. "Kalau kamu nggak terburu-buru pulang," lanjutnya.

"Mau?" Tanya Ryu memastikan. Aya mengangguk. Tidak ada salahnya kan? Ryu ingin berterima kasih. Bahkan Aya juga sering melakukan hal yang sama pada orang-orang yang membantunya. Keduanya masuk ke coffee shop dan memesan.

A SymbioticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang