"Hubungin Kak Aya tiap hari ya, Lian. Semoga lancar kuliahnya," Aya melepaskan pelukan pada adiknya yang sebentar lagi akan bersiap-siap masuk ke dalam pesawat. Lian tampak ceria."Kak Aya baik-baik ya di sini! Hidup bahagia sama Kak Ryu dan Arsel. Lian tunggu keponakan baru. Doain Lian di sana ya!"
Bibir Aya menyunggingkan senyum, "Maaf ya Kak Ryu nggak bisa ikut ke sini sekarang!"
"Nggak apa-apa. Tadi pagi Kak Ryu udah bilang bakal sibuk banget hari ini karena banyak ninggalin kerjaan beberapa waktu lalu."
"Oh ya?"
"Hahaha iya Kak Aya! By the way selama Kak Aya di China, Lian ngobrol banyak sama Kak Ryu. Lian happy deh dapet ipar kayak Kak Ryu. Orangnya cerdas, kepribadiannya menyenangkan, looks cold outside but warm inside, latar belakangnya keren, asik juga. Lian lega Kak Aya nikahnya sama Kak Ryu. Kalian serasi tau nggak?" Pujian Lian ke Ryu membuat Aya tertawa.
"Kamu umur 18 tahun loh tapi jago banget ngasih penilaian ke orang!". Aya mencubit bahu Lian. Remaja itu meringis.
"Eh umur hanyalah angka. Tapi serius Kak, bukan karena Kak Ryu itu CEO dan kerjaannya tapi emang aslinya keliatan bisa diandalkan. Mama juga bilang waktu acara nikahan kalian selesai, Katanya Kak Aya jago pilih suami. Kagum sama Kak Ryu nggak apa-apa kan Kak Aya? Soalnya aura leader-nya Kak Ryu itu kuat banget, nggak bohong! Lian punya role model baru, hahahhaha,"
"Hahaha ada-ada aja kamu! Kuliah yang bener di Belanda, pulangnya jadi Lian yang lebih keren dari ini ya! janji?"
"Janji! Kak Aya juga harus bahagia di sini selama Lian nggak ada ya?" Aya mengangguk lalu memeluk Lian sekali lagi sebelum menjauh.
"Bye, Kak Aya!" Tangannya melambai ke Aya dengan senyum merekah. Kini Lian hilang dari pandangannya meninggalkan Aya dengan perasaan lega karena berhasil memenuhi mimpi adiknya tapi juga hampa, terasa seperti kehilangan dan kesepian makin menyergapnya. Aya tidak mimpi, setelah tanpa ibunya, hari-harinya akan berlalu tanpa Lian juga.
Huft bisa kok Ay! Kamu pasti bisa menjalani dua tahun ini dengan baik sesuai rencana.
Aya bergegas untuk segera pergi karena berjanji pada Arsel untuk cepat pulang.
"Ay?" Aya menoleh saat mendengar suara orang memanggilnya di parkiran. Suara berat yang cukup familiar.
"Ngapain di sini?" Seorang laki-laki berdiri di samping koper menunggu Aya bersuara tapi Aya tak menjawab. Perasaan muak memuncak kembali saat melihat wajah orang di hadapannya. Aya melangkah ingin menghindar tapi lengannya ditahan.
"Aku bicara sama kamu, Aya!"
"Kita udah selesai. Aku nggak mau kita bicara. Bisa tolong lepaskan? Aku sibuk." Aya berusaha tenang tidak emosi.
"Kita belum selesai. Kamu masuk ke ruang kerjaku tanpa se-izinku sebelum kita putus."
"Aku ambil jepit rambutku yang tertinggal,"
"Nggak, kamu ambil sesuatu yang lain! Kamu tau apa maksudku!" Raut wajah laki-laki itu berubah ketat. Urat lehernya terlihat timbul.
"Kamu tuduh aku mencuri di rumah pribadi kamu? Nggak ada tuduhan lain yang lebih hina? selingkuh saat punya tunangan dan akan menikah, misalnya?" sindir Aya telak tanpa takut sama sekali.
"Kamu berhasil mempermalukanku di depan umum, merusak nama baik dan reputasiku, apa itu nggak cukup? Kenapa masih mau ikut campur urusanku, kembalikan milikku yang kamu ambil selagi aku minta baik-baik, Aya!"
"Aku? Merusak reputasi kamu? Kamu sendiri yang merusaknya! Biar kuberi kamu nasehat, Sam. Hati-hati tidur dengan banyak perempuan. Kalau suatu saat anak di luar nikah kamu itu terendus publik, karir kamu akan hancur total. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat punya anak dari hubungan tanpa ikatan pernikahan? Mau jadi apa negara ini kalau orang yang dipilih rakyat ternyata busuk begini. Citra diri kamu di media jauh berbeda dengan kamu yang sebenarnya,"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Symbiotic
RomanceApapun yang terjadi, waktu terus berjalan dan tidak berhenti meskipun Aya ingin bernapas tanpa beban sehari saja. Seumur hidup Aya selalu meyakini bahwa cobaan yang ia dapatkan pasti sesuai dengan kapasitasnya sebagai seorang manusia. Namun keyakina...