09.

97 6 0
                                    

Aya menggigit macaronnya dengan senang. Sudah beberapa hari sejak Ryu berkunjung ke rumah dan menyampaikan rencana menikahi Aya. Sampai saat ini, rencana keduanya berjalan lancar.

"Gimana?" Ryu akhirnya datang setelah janjian dengan Aya di Coffee Shop tempat mereka bertemu saat heels Aya patah.

"Mama setuju, aku juga dapat jadwalnya. Tinggal urus biayanya!"

"Syukurlah, saya juga udah cari Wedding Organizer dan tanggal pernikahannya. Operasinya tanggal berapa?"

"Kata pihak rumah sakit tanggal 11 bulan depan. Ada serangkaian tes dulu, kalau kondisi fisik mama nggak memungkinkan, bakal diundur. Tanggal pernikahan yang kamu tentuin kapan?"

"Tanggal 6. Ada tim WO yang bisa kerja mepet waktu. Setelah nikah, kamu bisa langsung ke China temenin mama operasi, Saya mulai urus perwalian Arsel. Gimana? Kamu sanggup dengan waktu yang sempit itu?"

"Sanggup." Aya melebarkan senyum. Jantungnya berdebar bahagia. ibunya akan segera sembuh.

"Eh tapi Arsel gimana?" Aya baru ingat.

"Arsel sama saya dulu seperti biasa, kamu urus masalah kamu dulu sampai selesai setelah itu baru kamu baru jagain Arsel."

"Okay."

"Ini kartu nama designer baju pengantin, ini nama dan kontak WO-nya." Ryu menjejerkan dua kartu nama di atas meja.

"Ryu, acaranya nggak usah besar-besaran."

"Saya juga nggak mau terlalu berlebihan. Kamu bikin janji segera, bilang kita akan menikah. Saya udah bahas sekilas, nanti konsep acaranya kamu pilih aja. Biaya urusan saya."

"Kalau mepet begini, budget-nya jadi tambah mahal, kan?" tanya Aya merasa tidak enak. Pasti tim Wedding Organizer alias WO harus kerja di bawah tekanan.

"Bentar saya urus biaya operasinya ke alamat rekening yang kamu kirim tadi." Ryu menarik ponselnya dari meja. Pertanyaan Aya tidak dijawab.

Aya memasukkan kedua kartu nama pemberian Ryu ke dalam tasnya sambil menyedot Americano Ice favoritnya. Tentu saja budget-nya naik, semua harus kerja extra karena pernikahan dadakan.

Satu notifikasi masuk di ponsel Aya. Surel dari pihak rumah sakit sebagai konfirmasi biaya yang baru saja dilunasi.

"Terima kasih, Ryu." Aya menunduk. Ia menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Ryu sudah menyelesaikan setengah masalahnya, Aya tinggal menjalankan tugasnya dan membawa ibunya ke China.

Ryu membuang tatapannya ke luar kaca. Pikirannya hanya tentang kedekatan Arsel dan Aya. Ryu tidak begitu yakin bisa memberikan Arsel seorang figur ibu meskipun menikahi Aya maka dari itu ia sejak awal meminta Aya untuk jadi pengasuh tanpa berani berharap yang lain. Namun melihat betapa Aya ingin dipanggil 'mama' oleh Arsel kemarin, tampaknya Aya akan mengisi figur itu dengan senang hati secara sadar atau tidak. Meski ada batas waktu, setidaknya Ryu bisa tenang sejenak karena Arsel tidak akan kesepian.

Semoga Papa nggak salah pilih orang ya, Cel.

***

Ryu sampai di kantor setelah makan siang di luar sendirian. Beberapa hari ini ia sibuk sekali mengurus pernikahannya dengan Aya yang serba mepet dan kejar waktu.

"Kita nggak ada rapat, kan? Kenapa kamu di depan ruangan saya mondar mandir kayak suami nunggu istri lahiran?" tanya Ryu aneh pada sekretarisnya Nicho. Raut wajah Nicho sedikit gusar.

"Itu pak, Pak Devan dan Pak Jeremy menerobos masuk ke dalam ruangan, saya udah tahan untuk nunggu di ruangan saya tapi mereka nggak mau." Nicho tampak takut karena tidak bisa bekerja dengan becus untuk atasannya. Ryu menghela napas jengah. Ia tau alasan keduanya datang ke kantor Ryu di tengah kesibukan masing-masing.

A SymbioticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang