Aya kembali lagi ke rumah Ryu membawa Lian bersama mereka. Aya sudah tidak menangis lagi, dukanya tampak seperti menguap. Rasa sedihnya tentu belum menghilang, hanya saja Aya memilih memendam dukanya, berusaha membiasakan diri dengan keadaan. Tidak mungkin Aya terus berlarut sedangkan Arsel perlu diasuh. Aya harus menjalani kesepakatannya dengan Ryu.
Koper besar isi pakaian dibawa masuk ke rumah Ryu. Aya akan menghuni rumah Ryu untuk dua tahun ke depan.
"Masuk ke kamar saya, takut Lian curiga kalau lihat kamu naik turun dari lantai dua."
"Iyaa." Aya melangkah gontai mengikuti Ryu yang membuka pintu kamarnya. Kamar utama yang luas menghadap ke kolam ikan dan kolam renang yang ada di area terbuka hanya dibatasi kaca besar transparan pengganti dinding yang bisa ditutupi dengan gorden kalau malam hari. Kamar Ryu cukup luas terbagi ke walk in closet room dan ruang kerjanya. Di sudut dekat kaca ada tempat tidur Riby. Riby yang masuk bersama mereka tadi langsung lari dan rebahan di sana.
Aya berjalan masuk lebih jauh, langkahnya pelan dan sedikit goyang. Ryu memperhatikan gerak gerik Aya setelah meletakkan koper di dekat dinding yang lain.
Langkahnya makin terhuyung-huyung dengan tubuh miring ke kanan dan hampir jatuh. Ryu segera menghampiri Aya lalu menahan kedua lengan Aya agar tetap berdiri tegak. Aya terperanjat kaget karenanya.
"Eh," Aya merespon reflek.
"Kamu sakit?" tanya Ryu curiga.
"Nggak apa-apa, Ry. Aku cuma anemia, kadang-kadang emang pusing tapi nggak akan jatuh kayak yang kamu pikir kok." Aya melepaskan tangan Ryu. Keduanya tiba-tiba jadi canggung.
"Gimana mau jaga Arsel kalau kayak gitu?" tanya Ryu agak sangsi.
"Bisa. Tenang aja. Arsel nggak akan kenapa-kenapa," balas Aya percaya diri.
"Saya mau ketemu pengacara Kak Rio dan cek beberapa lokasi asetnya. Mungkin pulang agak malam. Untuk keperluan Arsel yang lain tanya ke Sus Lala dulu hari ini sebelum Sus Lala pulang. Arsel boleh tidur di sini kalau dia minta ke sini. Tapi kalau nggak, biarin dia tidur di kamarnya sendiri. " Aya mengangguk mendengar penjelasan Ryu.
"Kamu udah urus perwalian Arsel?" tanya Aya penasaran.
"Belum sempat. Mungkin besok setelah dari kantor,"
"Okay, Ryu."
"Oh ya, jangan kasih Arsel gadget kalau dia nggak minta. Dari kecil Arsel minim nonton gadget. Dia punya banyak mainan untuk belajar, ada di kamarnya. Kalau dia mau nonton gadget atau tv, screentime-nya satu jam aja sehari. Nggak boleh lebih." Aya mengangguk lagi.
"Tolong perlakukan anak saya dengan baik, Aya. Arsel satu-satunya yang saya punya di dunia ini. Saya bisa gila kalau Arsel kenapa-kenapa." Tatapan Ryu serius. Suaranya juga rendah dan memohon. Jauh berbeda dari tegasnya Ryu ketika mendikte Aya tadi.
Ini kali kedua Aya mendengar Ryu menyebut Arsel dengan kata 'anak saya' walaupun kenyataannya Arsel bukan anak biologis Ryu. Aya yakin kalau Arsel punya arti besar bagi Ryu.
"Iyaa, Ry. Arsel akan baik-baik aja, kok. Kamu bisa percaya sama aku," sahut Aya meyakinkan.
Tanpa bicara lagi, Ryu pergi meninggalkan kamar begitu saja. Aya bergegas berganti pakaian dan keluar menemui Arsel yang sedang bermain bersama pengasuhnya. Lian kembali mengurung diri di kamar tamu tanpa ada yang menganggu.
Aya mengenyahkan kesedihan, ia memilih mendengar dengan serius penuturan Sus Lala tentang Arsel. Dengan sabar Sus Lala memberitahu apa pun yang Aya tanyakan dan berbagi pengalamannya mengurus Arsel.
"Kalau untuk makanan Arsel, ada buku resep dari dokter gizinya di dapur, mendiang Bu Nia dan Pak Rio ketat kalau urusan makanan. Pak Ryu pun sekarang kayak gitu. Nanti Bu Aya bisa baca dan masakin Arsel sendiri, kok." Aya cukup terkesan. Arsel spesial sekali sampai tumbuh kembangnya tidak luput dari perhatian dokter gizi.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Symbiotic
RomanceApapun yang terjadi, waktu terus berjalan dan tidak berhenti meskipun Aya ingin bernapas tanpa beban sehari saja. Seumur hidup Aya selalu meyakini bahwa cobaan yang ia dapatkan pasti sesuai dengan kapasitasnya sebagai seorang manusia. Namun keyakina...