Sudah tiga hari berlalu sejak Aya dan Ryu bertengkar kecil. Selama itu pula keduanya hanya sedikit berinteraksi.
Aya pulang dari kantor dan langsung masuk ke kamar Ryu, ia ingin memotret contoh denah yang ia buat untuk dikirim ke rekan kerjanya selagi Aya ingat. Denah itu disimpan di ruang kerja Ryu. Tapi langkah girang Aya terhenti ketika melihat punggung Ryu, ia sedang berdiri menatap keluar jendela kaca. Kedua tangan masuk dalam kantong celana. Aya memperhatikan Ryu yang tampaknya sedang memikirkan sesuatu. Perasaannya langsung dipenuhi canggung karena perdebatan tentang Samuel.
Pikiran Aya diisi dengan banyak prasangka. Selama tiga hari belakangan juga, Aya menimang nimang apakah ia terlalu defensif saat merespon pertanyaan Ryu kemarin?
"Ryu?" panggilan Aya tak direspon. Ryu bahkan tak menoleh sama sekali. Mustahil laki-laki itu tidak mendengar, jarak mereka tak jauh.
Aya makin diserang rasa takut, takut Ryu marah padanya. Ia perlahan mendekat. Tangannya maju mundur mencoba menyentuh lengan Ryu. Bahkan sudah sedekat itu, Ryu tak menggubris keberadaannya. Aya sampai bingung apakah Ryu sengaja atau memang pikiran Ryu sedang begitu banyak.
"Ehm, Ryu?" Aya akhirnya berani menyentuh lengan Ryu tapi Ryu hanya meliriknya santai lalu kembali menatap ke luar.
"Kamu pulang cepat hari ini," tambah Aya basa-basi tapi Ryu tak menjawab.
"Aku minta maaf karena bikin kamu marah," Tetap hening.
"Tentang Samuel, aku janji itu nggak akan terjadi lagi. Aku pasti bakal jaga nama baik kamu, kok. Samuel juga udah tau kita menikah, dia pasti nggak akan ganggu aku lagi,"
"Ry?"
"Tadi sidang penetapan wali Arsel, permohonan saya diterima pengadilan." Kini Ryu bersuara tapi tak menoleh ke Aya sama sekali.
"Syukurlah. Wasiat Kak Rio udah kamu laksanakan. Kapan kamu mau bawa Arsel ke makam orang tuanya?"
"Mungkin nanti kalo dia udah genap tiga tahun, saya harus pikir gimana cara menyampaikan ke dia yang sebenarnya," sahut Ryu. Aya hanya mengangguk.
Aya meletakkan tasnya di sofa dan membuka blazer abu-abu hingga tersisa tanktop satin putihnya.
"Kamu dapat kabar baik, aku juga punya kabar yang menyenangkan. Karena kita berteman, aku mau berbagi dengan kamu, mau dengar?"
Entah, jangan tanya kenapa Aya tiba-tiba ingin bercerita ke Ryu. Bukan untuk membujuk laki-laki itu tapi murni karena Ryu memberitahunya kabar baik, Aya juga ingin berbagi bahagia di hatinya yang hampir meledak.
Ryu menoleh datar, "Apa?"
"Lalire Design and Build masuk top 3 perusahaan Arsitektur terbaik tingkat Asia versi Building Construction Information Asia alias BCIA Asia karena proyek apartemen yang aku dan tim kerjakan, proyek Rend Apartment dan Bumi Herseraya. Ry, proyek itu di tanganku dua-duanya." Aya sumringah, ia tidak bisa menahan rasa senangnya atas kerja keras yang ia lakukan untuk perusahaannya. Perempuan itu kini berteriak girang dan melompat lompat kecil di depan Ryu.
Ryu yang tadinya datar kini sedang menahan senyum melihat tingkah Aya. Ia memutar badan menghadap Aya yang sudah berhenti melompat tapi senyumnya masih cukup lebar.
"Kamu se-senang ini?" tanya Ryu padanya.
"Kenapa, aku berlebihan ya? Iya sih yang dinilai perusahaannya bukan arsiteknya. Tapi kontribusiku sebagai Arsitek besar kan Ry," ekspresi Aya berubah muram, penyesalan karena terlalu senang kini menghampirinya.
Ryu menggeleng, "Proud of you, Ay. Perusahaan Arsitektur tanpa Arsitek handal dalam menangani proyeknya juga nggak bisa dapat penghargaan BCIA Asia."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Symbiotic
RomanceApapun yang terjadi, waktu terus berjalan dan tidak berhenti meskipun Aya ingin bernapas tanpa beban sehari saja. Seumur hidup Aya selalu meyakini bahwa cobaan yang ia dapatkan pasti sesuai dengan kapasitasnya sebagai seorang manusia. Namun keyakina...