Kaki jenjangnya membawa dirinya mendekatkan diri pada segerombolan orang dibibir pantai. Pikirnya, ada apa dengan manusia-manusia yang tengah saling menautkan diri membentuk sebuah lingkaran itu.
Netra sejernih biru laut itu menatap sebuah perahu. Bibirnya menyertakan senyum semringah. Ia hapal betul perahu milik siapa itu.
"Bapak..." panggilnya pada pria tua disana. "Kenapa wajah bapak ada darahnya?" gumamnya. Gadis itu tak dapat menyembunyikan rasa khawatirnya.
"Biru," panggil bapaknya pelan.
"Ya, pak?" gadis bernama Biru itu menyahut dengan cepat. Suaranya sedikit meninggi takut jika bapaknya tak mendengar.
"Hey kalian! pindah lah dari situ. Kalian menghalangi jalan kami membawa mereka!" pria sepantaran bapak dari Biru itu meneriaki orang-orang yang kepo dengan apa yang mereka alami.
Biru yang terkejut mendengar teriakan marah itu segera membuka jalan, sama seperti yang dilakukan segerombolan orang tadi.
Ada mayat.
Biru nampak takut melihat mayat-mayat yang diturunkan dari perahu kecil itu. Ia berlari kecil menghampiri bapaknya dan bersembunyi dibalik punggung lebar itu.
"Bapak, apa yang terjadi? Dimana Ali, pak? Tadi kan dia ikut bersama bapak ke laut," tanyanya dengan suara kecil.
"Biru, maafkan bapak, nak." Suaranya terdengar bergetar. "Bapak tidak bisa menemukan Ali. D-dia hanyut bersama ombak yang menerjang perahu kecil bapak dan Pamanmu."
Biru menatap shok bapaknya. Ia dapat melihat punggung lebar itu sedikit bergetar kala memberitahunya. Tak sadar air mata menetes membasahi pipinya. Biru menangis, dipikirannya tidak ada cela untuk berpikir positif tentang Ali. Biru menggeleng dibalik punggung tegap bapaknya.
Ia melangkahkan kakinya dengan berani menghampiri orang-orang yang menurunkan mayat tadi. Ingin bertanya dan memastikan ucapan bapaknya adalah kebohongan.
"Paman, Ali dimana?" pertanyaan sama yang ia lontarkan pada bapaknya tadi. Ia berharap jawaban yang diberikan pamannya berbeda dengan yang bapaknya berikan.
Biru melihat raut putus asa dari pamannya. Jantungnya berdegup kencang menunggu jawaban. Ia menautkan jari didepan dadanya. Merapal kan sebuah permohonan yang mustahil.
"Paman?" panggilnya karena tak kunjung diberi jawaban. Biru menggoyangkan lengan kokoh pamannya. "Ali dimana?"
Pamannya mengusap wajah gusar. Merasa ragu ingin memberikan jawaban. Pamannya, sangat tahu bagaimana keponakannya itu sangat menyayangi Ali.
Dan kabar yang mereka bawa begitu buruk terutama untuk Biru.
"Ali sudah tidak ada, Biru," katanya.
"Paman, Biru tau hari ini ulang tahun Biru. Tapi, Biru tidak ingin hadiah seperti ini." Air matanya semakin deras membasahi pipi. Kenyataan yang ia dapat sangat sulit diterima olehnya. "Biru ingin mencari Ali, paman!" Biru menghampiri perahu milik bapaknya. Ia yakin bisa menemukan Ali di laut sana. Ia akan membawa Ali pulang dari laut jahat itu.
Tangannya dicekal oleh pamannya. "Jangan bodoh, nak! Kau tidak tahu bagaimana ganasnya ombak disana. Bahkan kau pun bisa hilang seperti Ali."
Biru tersenyum ditengah-tengah basahnya pipi oleh air mata. Senyumnya menyiratkan kecewa dan marah sekaligus.
"Ali janji pada Biru, dia akan pulang dengan selamat. Mungkin, disana dia sedang ada masalah. Biar Biru yang menjemputnya, paman," ucapnya. Biru sudah bersiap ingin naik ke perahu.
"Nak, bapak akan mencarinya besok. Kita pulanglah dulu!" bujuk bapaknya.
"Ali bisa mati jika menunggu besok," tolaknya. Ia tetap akan pergi mengarungi laut demi menjemput Ali.
"Ali sudah mati, Biru!! Siapapun tidak akan selamat jika diterjang ombak seperti itu. Kau beruntung karena bapak masih berdiri didepan mu," bentaknya.
Biru terdiam. Ia memundurkan langkahnya menatap lamat-lamat bapaknya. Benar, seharusnya ia beruntung. Dari beberapa orang yang pergi hanya bapak, pamannya dan dua orang lagi yang selamat. Tapi, ia tak bisa menerima fakta kepergian Ali. Hatinya bak teriris sesuatu. Rasanya sangat sakit.
Dia—Venaya Abiru. Gadis periang secerah matahari itu, kini memperlihatkan redupnya semangat dalam diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melautkan Rasa
General Fiction-Ini tentang komunikasi dua sisi antara indahnya laut dan suramnya hati- Potongan cerita : Ia terus memandangi bunga tersebut yang semakin menjauh dari dirinya. Biru menyudahi aksi pelepasan bunganya. Ia memutar tubuhnya untuk kembali ke bibir panta...