"Ini alamatnya, kau pergilah dan ingat hati-hati."
Biru segera meraih alamat yang diberikan padanya. Bunga sudah siap di keranjang sepedanya. Hari ini ia akan mengantar bunga, dan syukurnya alamatnya tidak begitu jauh.
Ia mulai mengayuh sepedanya menyusuri jalanan yang masih begitu sejuk di pagi hari.
Lama mengayuh. Ia singgah sebentar untuk membaca alamat yang tidak begitu terekam jelas di otaknya, istilahnya lupa-lupa ingat.
"Oh, berarti tinggal masuk lorong ini." Ia melihat jalanan yang begitu sempit. Biru berpikir sejenak, menimang-nimang apakah sepedanya muat lewat jalan tersebut. Keputusannya jatuh pada berjalan kaki, Biru memilih menyimpan sepedanya diluar lorong saja, karena tidak memungkinkan untuk ia bawa masuk.
"Memang ada ya, orang yang tinggal disini?" monolognya. Ia terus melangkah sesekali menghindari kubangan air.
Setelah melewati lorong yang tidak begitu panjang, akhirnya Biru sampai pada satu rumah yang tertera dalam alamat. Hanya ada satu rumah yang berdiri kokoh diujung sana. Biru melangkahkan kakinya menuju rumah tersebut.
"Permisi..." Suaranya berbaur dengan ketukan di pintu kayu tersebut. Ketukannya semakin keras selaras dengan suaranya yang sedikit meninggi. Hal itu ia lakukan, karena tak ada yang membuka pintu sedari tadi.
Matanya tiba-tiba tertuju pada gagang pintu yang terus bergerak, namun tak ada tanda-tanda pintu tersebut akan terbuka. Biru memberanikan diri menyentuh gagang pintu yang terus bergerak. Ia menekan kebawah dan pintu tersebut berhasil terbuka.
"Ouchh... terima kasih, kakak." Anak kecil itu mengucapkan terimakasih.
Pantas saja gagang pintu hanya berputar tak terbuka, rupanya yang berusaha membukanya adalah anak kecil. "Apa tidak ada orang selain anak kecil ini?" gumamnya.
Tak ia sangka, anak kecil itu menarik tangannya untuk mengikuti langkah kecilnya. Lelaki kecil itu menuntunnya kesebuah kamar.
"Tadi, Arfa sudah berusaha membangunkan abang, tapi dia tidak bangun-bangun," ucapnya sesaat setelah membuka pintu kamar, dan terpampang lah pria sedang tidur dalam posisi tengkurap. "Tolong bangunkan abang, Arfa tidak punya uang, ibu sedang keluar. Bunga itu pesanannya ibu," tunjuknya pada bunga yang tertata rapi ditangan Biru.
Biru ragu, namun ia butuh uang itu, "permisi abang, eh, abang kan, namanya?" anak kecil yang ia tanya mengangguk. "Abang bangun!!" sekali tarikan napas, Biru berteriak pas ditelinga pria itu. Si pria terlonjak kaget, ia menatap sekeliling dan mendapati adiknya tertawa, juga ia menatap Biru disebelah adiknya.
Biru tak berekspresi. Ia menyodorkan bunga tepat didepan wajah pria itu. "Ada yang memesan bunga."
Nyawa pria tersebut belum terkumpul sempurna. Ia berjalan sempoyongan menghampiri jaketnya yang tergantung dibelakang pintu kamarnya. Lalu merogoh saku jaketnya mencari uangnya disana.
"Berapa dek?" tanyanya setengah sadar.
"Dua ratus ribu, kak." Biru menerima uang dari pria tersebut dan melihatnya. "Ini kurang 196, kakak cuma kasi saya empat ribu rupiah."
Kesadaran pria tersebut sepenuhnya kembali, ia melihat uang yang ia berikan tadi. "Maaf-maaf, aduh saya salah lihat, maaf ya, dek," ujarnya kembali merogoh saku jaketnya. Ia beralih merogoh saku celananya dan tak menemukan apa-apa. Ia bergerak mencari dompetnya.
"Ini, dek."
"Yasudah, terima kasih telah memesan, saya permisi." Biru berlalu setelah menerima uang yang pas.
"Ada-ada saja, padahal ada jalan yang lebih luas," ujar pria itu, dimana ternyata ia melihat kepergian Biru yang melewati jalanan sempit, padahal disebelah bangunan itu ada jalan yang bahkan mobil bisa lewat sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melautkan Rasa
Ficción General-Ini tentang komunikasi dua sisi antara indahnya laut dan suramnya hati- Potongan cerita : Ia terus memandangi bunga tersebut yang semakin menjauh dari dirinya. Biru menyudahi aksi pelepasan bunganya. Ia memutar tubuhnya untuk kembali ke bibir panta...